Opini
OPINI Sosiawan: Pemilu, Tradisi Politik Uang dan Urgensi Pengawasan Publik
DALAM sistem politik demokrasi, terwujudnya pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil (free and fair) merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan sistem po
Fenomena yang sesungguhnya merupakan ancaman terhadap demokrasi tersebut terjadi karena runtuhnya keyakinan pada kredo, bahwa politik adalah jalan dan cara untuk menyejahterakan masyarakat. Dan berdemokrasi, menurut tesis Hans Joergen, meniscayakan terjadinya kompetisi, partisipasi, dan kebebasan untuk memilih. Namun dalam kenyataan, dalam politik dan demorasi, selalu meniscayakan adanya ”jebakan materialisme” yang mampu meruntuhkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kebajikan, dan keyakinan sesuai hati nuran. Yang terjadi adalah logika pasar yang berujung politik transaksional.
Jadi Tradisi?
Politik transaksional sesungguhnya bukan hanya merupakan ancaman tehadap demokrasi, melainkan juga “musibah” bagi demokrasi. Munculnya praktek politik uang untuk mencapai tujuan dan kepentingan pragmatis akan menyebabkan terjadinya upaya pengerahan segala daya dan upaya, sehingga cenderung akan menghalalkan segala cara guna meraih kedudukan/kekuasaan. Dampak lanjutan sebagai konsekuensi logis dari praktek politik uang adalah terpilihnya pemmpin yang berwatak elitis serta menjadikan kursi kekuasaan sebagai sarana untuk memperkaya diri dan lingkungan politiknya.
Pragmatisme politik akan menciptakan etos atau prinsip baru; “serba instan dan cepat” . Akibatnya, banyak muncul caleg dan calon kepala daerah yang hanya bermodalkan keterkenalan dan kekayaan. Kualitas, kapasitas, dan integritas akan kalah dengan “isi tas”. Dalam konteks ini, parpol juga
memiliki “dosa” besar jika memunculkan dan mengusung calon-calon pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas dan “isi tas”, tanpa disertai persyaratan kualitas, kapasitas, dan integritas.
Pada sisi lain, pragmatism politik yang secaa kasat mata terjadi di masyarakat, antara lain dalam bentuk politik uang, sesungguhnya juga merupakan enomena “gagap demokrasi” yang melnda negeri ini, hingga seolah menjadi “tradisi” dalam setiap pesta demokrasi.”Gagap demokrasi” terjadi, karena Indonesia megalami sebuah “revousi” demokrasi yang dipicu terjadinya Reformasi 1998, nenandai jatuhnya Soeharto dan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Reformasi telah membawa perubahan total terhadap tatanan kehidupan negara dalam segala bidang dengan sangat cepat, bahkan mendadak; dari system otoritarian menjadi system demokrasi yang medasarkan pada kedaulatan rakyat. Padahal, sudah lebih dari tiga dasawarsa, kekuatan dan kedaulatan rakyat telah dilumpuhkan oleh rezim Orde Baru. Dalam kondisi “gagap demokrasi” inilah muncul pragmatsme-pragmatisme politik, baik pada tataran elit politik, parpol, maupun masyarakat
yang Sebagian besar memang belum “melek” politik.
Pengawasan
Kini pekerjan rumah terbesar kita dalam upaya mewujudkan demorasi yang sehat dan bermartabat di negeri ini, adalah literasi/Pendidikan politik dan pengawasan pemilu yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Pendidikan politik perlu dilakukan secara sinergis dan kolaboratif, baik oleh pemerintah/negara, penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu), Perguruan Tinggi, lembaga media massa, tokoh masyarakat, partai politik, Lembaga swadaya
masyarakat, dan lain-lain.
Kolaborasi dan sinergi menjadi kaa kunci, mengigat pragmatism politik, seperti politik uang, seolah telah menjadi “budaya/tradisi” dalam setiap perhelatan politik yang bersifat kontestasi dalam memperebutkan suara rakyat.Dengan kata lain, terdapat sikap ambigu di masyarakat terhadap praktek politik uang. Di satu sisi dinilai sebagai bentuk kecurangan atau kejahatan yang harus dimusuhi. Namun pada sisi lain, tidak sedikit warga masyarakat yang memiliki hak pilih, justru berharap ada kontestan pemilu yang membeli suaranya. Maka muncullah istilah “menanti serangan fajar”.
Dalam konteks ini, peran pers/media massa sesungguhnya sagat besar, penting, dan strategis, baik dalam Pendidikan politik masyarakat maupun pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu ,sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi kontrol- sosial. Lewat pemberitaan, editorial, maupun bentuk-bentuk tulisan lainnya, media massa memiliki “kuasa”/pengaruh sangat besar bagi pembentukan opini masyarakat (public opinion).
Kini saatnya semua pihak bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan Pemilu 2024 sebagai pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Mari kita sadari, insafi, dan pahami, bahwa “tradisi” politik uang merupakan ancaman besar, bahkan “musibah” bagi demokrasi. (*)