Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

OPINI Sosiawan: Pemilu, Tradisi Politik Uang dan Urgensi Pengawasan Publik

DALAM sistem politik demokrasi, terwujudnya pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil (free and fair) merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan sistem po

Editor: m nur huda
Tribun Jateng
Drs Sosiawan, MH (Ketua Komisi Informasi Jawa Tengah) 

Opini Ditulis Oleh Drs Sosiawan, MH (Ketua Komisi Informasi Jawa Tengah)

TRIBUNJATENG.COM - DALAM sistem politik demokrasi, terwujudnya pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan adil (free and fair) merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan sistem politik apapun yang diterapkan oleh suatu negara, seringkali menggunakan Pemilu sebagai klaim demokrasi atas sistem politik yang dibangunnya.

Sejumlah negara dunia ketiga yang memiliki sistem demokrasi liberal, semi otoriter atau bahkan otoriter, hampir semua telah menyelenggarakan pemilu secara periodik. Hal itu menunjukkan bahwa pemilu telah menjadi bagian universal dalam kehidupan politik internasional.

Oleh karena itu bisa dipahami jika banyak ilmuwan politik yang menggunakan pemilu sebagai parameter pelaksanaan demokrasi di suatu negara, sebagaimana tesis Ranney: “no free elections, no democracy” (Asfar, 2006:3).

Baca juga: Fokus: Trauma Politik Identitas dan Transaksional

Individualisme Politik

Di Indonesia, pasca Reformasi 1998, pemilu yang dinilai sebagai matinya politik massif, yang ditandai dengan sepinya panggung-panggung kampanye dan kurang maraknya konvoi sepeda motor dengan suara knalpot yang meraung-raung di jalan raya, terjadi pada Pemilu 2009. Persaingan memperebutkan suara terbanyak, telah menciptakan sifat dan sikap individualisme politik serta pengabaian terhadap platform maupun ideologi partai.

Hal itu merupakan keniscayaan, karena dalam system “one man, one vote”, satu suara begitu berharga dalam upaya memenangkan pertarungan politik dengan memperoleh suara terbanyak. Karena itu tidak mengherankan jika banyak calon anggota legislatif (caleg) bersikap, berpikir, dan
bertindak pragmatis untuk bisa mendapatkan suara pemilih sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun yang diyakini efektif.

Pragmatisme politik itulah yang akhirnya melahirkan fenomena politik uang (money politics) yang
terjadi secara massif. Efektifnya politik uang dalam segala jenis pemilu tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor atau kondisi yang ada dalam masyarakat sebagai pemilik suara. Sejumlah faktor yang menentukan terjadinya, bahkan tumbuh suburnya, politik uang dalam masyarakat, antara lain;
faltor ekonomi, rendahnya pendidikan (literasi) politik, nihilnya sanksi moral dan sosial, serta lemahnya pengawasan, baik oleh pengawas resmi pemilu maupun masyarakat.

Bahkan dalam konteks pengawasan pemilu, peran pers atau media massa belum terlihat signifikan. Padahal, sesungguhnya dan semestinya, pers atau media massa memiliki fungsi dan peran yang sangat penting, besar, dan strategis dalam pengawasan pemilu. Karena pada dasarnya media massa merupakan institusi sosial yang memiliki setidaknya empat fungsi pokok.

Yakni edukasi (to educate), informasi (to inform), kontrol sosial (social control), dan hiburan (to intertaint). Jika setiap insan pers dan Lembaga media massa memahami dan menyadari keempat fungsi dasar esebut, maka pers atau media massa akan menjadi kekuatan besar untuk mencerdaskan masyarakat dan melakukan fungsi pengawasan secara efektif,dalam perhelatan politik sebesar, sepenting, serta sestrategis pemilu.

Namun sayangnya, tidak banyak media massa yang memiliki kesadaran akan peran, fungsi, dan idealisme untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat serta control sosial dalam pengawasan pemilu.

Politik Tanpa Ideologi

Terjadinya persaingan antar caleg, baik secara internal dalam satu partai politik (parpol) pada daerah pemilihan (dapil) yang sama maupun antar caleg dari parpol lain, menciptakan kecenderungan perilaku menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dukungan suara. Pada sisi lain, masyarakat yang memiliki hak pilih juga akan cenderung bersikap “jual mahal”, karena mengetahui bahwa hak suaranya sangat berarti dan dibutuhkan para caleg.

Fenomena perilaku pragmatis, baik masyarakat sebagai calon pemilih maupun elit politik parpol, sesungguhnya merupakan konsekuensi logis telah terjadinya fenomena perpolitikan tanpa (zonder) ideologi. Pada waktu yang sama juga terjadi fenomena mengaburnya identitas atau karakter parpol sebagai factor pembeda dalam menentukan peta jalan pembangunan bangsa dan negara. Padahal, demokrasi yang diderivasikan secara praktis ke dalam pemiu yang berkualitas dan elegan hanya akan terterwujud ketika diikuti dengan terciptanya kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat yang
memadai. (Symour M. Lipset, 1994).

Praktek politik uang termasuk dalam kategori politik transaksional, yang banyak dipahami sebagai “political trading”. Secara sederhana, “political trading” merupakan penamaan Ketika praktek politik sudah dimaknai sebagai bentuk/mekanisme perdagangan. Ada yang menjual dan ada yang membeli, sehingga terjadi transaksi, sebagaimana mekanisme perdagangan, yakni antara rakyat dan politisi. Dengan demikian, poltik transaksional bisa terjadi karena kedua belah pihak saling memahami dan dalam kesadaran saling membutuhkan; “suka sama suka”.

Fenomena yang sesungguhnya merupakan ancaman terhadap demokrasi tersebut terjadi karena runtuhnya keyakinan pada kredo, bahwa politik adalah jalan dan cara untuk menyejahterakan masyarakat. Dan berdemokrasi, menurut tesis Hans Joergen, meniscayakan terjadinya kompetisi, partisipasi, dan kebebasan untuk memilih. Namun dalam kenyataan, dalam politik dan demorasi, selalu meniscayakan adanya ”jebakan materialisme” yang mampu meruntuhkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, kebajikan, dan keyakinan sesuai hati nuran. Yang terjadi adalah logika pasar yang berujung politik transaksional.
Jadi Tradisi?

Politik transaksional sesungguhnya bukan hanya merupakan ancaman tehadap demokrasi, melainkan juga “musibah” bagi demokrasi. Munculnya praktek politik uang untuk mencapai tujuan dan kepentingan pragmatis akan menyebabkan terjadinya upaya pengerahan segala daya dan upaya, sehingga cenderung akan menghalalkan segala cara guna meraih kedudukan/kekuasaan. Dampak lanjutan sebagai konsekuensi logis dari praktek politik uang adalah terpilihnya pemmpin yang berwatak elitis serta menjadikan kursi kekuasaan sebagai sarana untuk memperkaya diri dan lingkungan politiknya.

Pragmatisme politik akan menciptakan etos atau prinsip baru; “serba instan dan cepat” . Akibatnya, banyak muncul caleg dan calon kepala daerah yang hanya bermodalkan keterkenalan dan kekayaan. Kualitas, kapasitas, dan integritas akan kalah dengan “isi tas”. Dalam konteks ini, parpol juga
memiliki “dosa” besar jika memunculkan dan mengusung calon-calon pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas dan “isi tas”, tanpa disertai persyaratan kualitas, kapasitas, dan integritas.

Pada sisi lain, pragmatism politik yang secaa kasat mata terjadi di masyarakat, antara lain dalam bentuk politik uang, sesungguhnya juga merupakan enomena “gagap demokrasi” yang melnda negeri ini, hingga seolah menjadi “tradisi” dalam setiap pesta demokrasi.”Gagap demokrasi” terjadi, karena Indonesia megalami sebuah “revousi” demokrasi yang dipicu terjadinya Reformasi 1998, nenandai jatuhnya Soeharto dan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Reformasi telah membawa perubahan total terhadap tatanan kehidupan negara dalam segala bidang dengan sangat cepat, bahkan mendadak; dari system otoritarian menjadi system demokrasi yang medasarkan pada kedaulatan rakyat. Padahal, sudah lebih dari tiga dasawarsa, kekuatan dan kedaulatan rakyat telah dilumpuhkan oleh rezim Orde Baru. Dalam kondisi “gagap demokrasi” inilah muncul pragmatsme-pragmatisme politik, baik pada tataran elit politik, parpol, maupun masyarakat
yang Sebagian besar memang belum “melek” politik. 

Pengawasan

Kini pekerjan rumah terbesar kita dalam upaya mewujudkan demorasi yang sehat dan bermartabat di negeri ini, adalah literasi/Pendidikan politik dan pengawasan pemilu yang berbasis pada partisipasi masyarakat. Pendidikan politik perlu dilakukan secara sinergis dan kolaboratif, baik oleh pemerintah/negara, penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu), Perguruan Tinggi, lembaga media massa, tokoh masyarakat, partai politik, Lembaga swadaya
masyarakat, dan lain-lain.

Kolaborasi dan sinergi menjadi kaa kunci, mengigat pragmatism politik, seperti politik uang, seolah telah menjadi “budaya/tradisi” dalam setiap perhelatan politik yang bersifat kontestasi dalam memperebutkan suara rakyat.Dengan kata lain, terdapat sikap ambigu di masyarakat terhadap praktek politik uang. Di satu sisi dinilai sebagai bentuk kecurangan atau kejahatan yang harus dimusuhi. Namun pada sisi lain, tidak sedikit warga masyarakat yang memiliki hak pilih, justru berharap ada kontestan pemilu yang membeli suaranya. Maka muncullah istilah “menanti serangan fajar”.

Dalam konteks ini, peran pers/media massa sesungguhnya sagat besar, penting, dan strategis, baik dalam Pendidikan politik masyarakat maupun pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu ,sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi kontrol- sosial. Lewat pemberitaan, editorial, maupun bentuk-bentuk tulisan lainnya, media massa memiliki “kuasa”/pengaruh sangat besar bagi pembentukan opini masyarakat (public opinion).

Kini saatnya semua pihak bersinergi dan berkolaborasi untuk mewujudkan Pemilu 2024 sebagai pemilu yang berkualitas dan bermartabat. Mari kita sadari, insafi, dan pahami, bahwa “tradisi” politik uang merupakan ancaman besar, bahkan “musibah” bagi demokrasi. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved