Rupiah Berpotensi Melemah Menuju Rp 15 Ribu
Isu pertama yang akan menjadi penggerak nilai tukar rupiah melemah ke Rp 15.000/dollar AS yakni soal The Fed yang masih agresif menaikan suku bunga
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kenaikan suku bunga bank sental Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) sebesar 75 basis poin masih menjadi penekan laju rupiah.
Pada perdagangan Senin (20/6) sore, rupiah melemah 11 poin walaupun sebelumnya sempat melemah 15 poin di level Rp 14.836 per dolar AS dari penutupan sebelumnya di level Rp 14.824 per dolar AS.
Pengamat keuangan, Ariston Tjendra mengatakan, ada dua isu yang akan menjadi penggerak nilai tukar rupiah hingga berpeluang melemah ke Rp 15.000/dollar AS. Sentimen pertama yakni soal The Fed yang masih akan agresif menaikan suku bunga acuannya di bulan-bulan mendatang.
"Di Juli, The Fed masih membuka peluang kenaikan 75 basis poin. Di tengah sentimen The Fed tahun ini dan isu inflasi serta resesi, peluang pelemahan rupiah ke Rp 15.000 masih terbuka tahun ini," ujarnya, melalui pesan singkat kepada Tribun.
Sementara faktor kedua yakni isu inflasi dan resesi, di mana seperti diketahui perang di Ukraina masih mendorong kenaikan harga barang.
"Bank-bank Sentral Dunia serempak menaikan suku bunga acuan, yang menciptakan ekonomi biaya tinggi. Dikhawatirkan bisa menekan pertumbuhan ekonomi," kata Ariston.
Karena itu, Bank Indonesia (BI) diharapkan merespon kebijakan The Fed dengan menaikan suku bunga acuan, agar jaraknya tidak menyempit, sehingga rupiah bisa tidak semakin melemah terhadap dolar AS.
Kemudian, pemerintah diharapkan bisa mengendalikan inflasi yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi, sehingga kepercayaan terhadap rupiah meningkat.
"Adapun kalau isu-isu ini mereda, rupiah bisa kembali menguat, apalagi indikator ekonomi Indonesia masih bagus, seperti inflasi dan neraca perdagangan. Inflasi Indonesia memang perlahan naik, tapi masih di dalam target Bank Indonesia, dan neraca perdagangan sudah surplus selama 25 bulan beruntun," jelas Ariston.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi menyampaikan, nilai tukar rupiah untuk perdagangan Selasa (21/6) kemungkinan dibuka berfluktuatif.
"Tapi untuk besok (Selasa-Red) ditutup melemah di rentang Rp 14.820 sampai Rp 14.870 per dolar AS," ucapnya.
Menurut dia, pemerintah dan BI perlu mewaspadai kenaikan suku bunga acuan The Fed menjadi 1,5 persen sampai 1,75 persen pada minggu lalu, yang dampaknya sudah terasa dari melemahnya mata uang rupiah.
Dengan kenaikan suku bunga tersebut, dia menambahkan, arus modal asing kembali keluar di pasar surat utang, karena jarak antara yield surat berharga negara dan yield treasury di tenor yang sama semakin menyempit.
"Investor asing cenderung mengalihkan dana ke negara maju, memicu capital outflow di emerging market," tuturnya.
"Selain itu, penyempitan likuiditas karena bank dalam posisi mengejar pertumbuhan kredit yang tinggi pasca-pandemi melandai, tapi terhalang oleh kenaikan tingkat suku bunga," sambungnya.
Ibrahim menyatakan, perebutan dana antara pemerintah dan bank dalam menjaga tingkat pembiayaan defisit anggaran akan membuat dana deposan domestik berpindah ke surat berharga negara. "Crowding out sangat membahayakan kondisi likuiditas di sektor keuangan," terangnya.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan, tetap ada beberapa instrumen keuangan yang bisa jadi pilihan investasi saat era suku bunga tinggi.
Pertama, instrumen yang dianggap tahan guncangan saat ada kenaikan suku bunga adalah emas dan surat utang negara atau SUN.
"Jadi, sektor yang akan diuntungkan, pertama tentunya banyak investor akan cenderung masuk ke safe haven ataupun aset yang relatif aman. Misalnya emas, kemudian surat utang pemerintah karena ada kenaikan tingkat suku bunga," paparnya.
Kemudian, menurut dia, instrumen selanjutnya yang bisa jadi pilihan investasi adalah reksa dana pendapatan tetap, produk deposito, dan saham sektor konsumer.
"Selain itu, ada deposito dan sektor yang masih cukup positif sebenarnya sektor consumer goods atau sektor yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Sebab, kalau inflasi meningkat, artinya terjadi kenaikan permintaan," jelasnya.
Berarti, Bhima berujar, permintaan untuk kebutuhan pokok akan tetap tinggi karena walaupun harga naik, tetap akan dibutuhkan oleh masyarakat.
"Karena masyarakat akan fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok, dan mengurangi belanja barang-barang yang sifatnya sekunder maupun tersier," tukasnya. (Tribun Network)