OPINI
OPINI Tasroh : Merindu Kendaraan Listrik
AGENDA strategis nasional di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang belum dapat direalisasikan antara lain di bidang energi adalah investas
Termasuk bagaimana ke depan semua kendaraan di semua negara harus beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) fosil ke bahan bakar non fosil khususnya listrik dan baterai. Bagaimana peluang dan potensi kendaraan listrik dan baterai di Indonesia ke depan?
Pertanyaan ini harus segera disandingkan kepada para investor nasional agar bergegas melakukan langkah-langkah strategis menyongsong era baru: kendaraan listrik berbasis baterai (BEV).
Investor Nasional
Krisis energi yang sedang dihadapi berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia, tentu tidak bisa diselesaikan/direspon hanya oleh regulator/pemerintah.
Setelah kebijakan dan berbagai regulasi diterbitkan, langkah lanjutan yang tak ketinggalan adalah bergegas melakukan eksekusi agar kendaraan listrik berbasis BEV tersebut tak sekedar riuh di media atau jadi konsumsi politik an sich, tetapi harus mendorong dan memacu kalangan industri/kaum investor untuk bersama-sama semua pihak mewujudkan mandat regulasi tersebut.
Dalam landscape demikian, kemampuan investor nasional menjadi taruhan. Di tengah sulitnya menggalang investasi asing, karena di negara para investor asing tersebut juga sedang menghadapi masalah yang sama (krisis energi), maka ke depan, pemerintah Indonesia harus mendorong perkembangan jumlah dan kompetensi investor nasional untuk mendanai proyek-proyek strategis nasional di bidang energi/BBM. Karena diakui, pemerintah RI hingga sekarang ini masih terus menunggu uluran modal dari investor asing, sementara investor nasional lebih terlihat hanya sebagai broker belaka.
Padahal semestinya, para investor nasional bersatu padu turut berkontribusi penuh pada agenda nasional, proyek strategis nasional dalam hal percepatan program kendaraan bermotor Listrik Berbasis baterai (BEV), yang kini kabarnya semakin tak jelas karena masih banyak kebingungan kolektif terjadi dimana-mana.
Mulai dari kebingungan para peneliti/riset yang hasilnya masih mentah sehingga ketika ditawarkan pada kalangan pengusaha/investor dianggap sampah.
Tercatat ada lebih dari 150 hasil riset berbagai peneliti dari berbagai instansi penelitian, tetapi kini mangkrak di makan kecoa di perpustakaan offline dengan berbagai alasan. Demikian pula kebingungan sumber pembiayaan karena biasanya investasi di awal proyek biasanya adalah ‘investasi rugi’, karena para investor biasanya harus menyiapkan banyak hal untuk imbal hasil yang belum berkepastian investasi.
Pun dana-dana dari APBN jangankan untuk modal awal investasi kendaraan listrik, untuk sekedar memenuhi kebutuhan harian instansi pemerintahan di berbagai tingkatan sudah tak mampu lagi.
Namun jika mau berinvestasi, dana subsidi yang mencapai angka yang sudah tidak rasional lagi itu yaitu Rp 501 triliun (2022), sejatinya bisa menjadi ‘modal awal’ bagi pemerintah dalam rangka menjadi mitra pendanaan investor nasional memulai aksi ‘percepatan’ realisasi kendaraan listrik nasional.
Atau meningkatkan kemampuan investor nasional dengan menyediakan sebagian dana kompensasi pemerintah kepada BUMN terkait untuk juga berkontribusi mendanai proyek kendaraan listrik nasional.
Bahan Baku
Potensi BEV di Indonesia berdasarkan sejumlah riset menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi dan kemampuan menyediakan ‘bahan baku’ BEV seperti nikel murni, kobalt murni, ferro nikel, endapan hidroksida campuran.
Dengan demikian konon Indonesia memiliki potensi rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik, mulai dari bahan baku, manufaktur sel baterai, perakitan baterai, manufaktur EV hingga daur ulang EV.