Berita Banyumas
Tradisi Ruwat Bumi Desa Tambaknegara Banyumas, Tidak Boleh Ada Penari dan Sinden Wanita
Ruwat bumi Desa Tambaknegara rutin digelar sebagai bentuk lestarikan tradisi Jawa.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Ruwat bumi Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas rutin dilaksanakan sebagai bentuk lestarikan tradisi Jawa, Kamis (11/8/2022).
Ruwat bumi sendiri merupakan sebuah tradisi turun temurun masyarakat Jawa sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi.
Ki Muharto selaku ketua adat Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara mengatakan ruwat bumi sendiri memiliki nilai-nilai yang dapat diambil didalamnya.
Ki Muharto menceritakan sejarah ruwat bumi sendiri berawal dari awal mula manusia dulu yang belum mengetahui mengenai sesuatu hal.
Hingga berjalannya waktu manusia mengetahui hal-hal disekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan untuk kelangsungan hidup.
"Orang dulu mengetahui wohen suket (buah dari rumput) bisa dimakan yakni padi. Kedua kalinya ada pohon bambu yang muda bisa dimakan namanya bung," Ucapnya.
Dari sinilah manusia mulai berkembang dan mengungkapkan rasa syukurnya terhadap apa yang disediakan oleh bumi hingga menjadi tradisi secara turun temurun di masyarakat hingga sekarang.
Ruwat bumi mengajarkan kita untuk menjadi orang yang selalu mengingat. Dalam bahasa Jawa disebut eling, kelingan, ngelingi (ingat, mengingat, dan mengingatkan).

"Eling, sifat manusia oleh Allah dari sari-sari bumi. Setelah ada di dunia memanfaatkan apapun yang ada di bumi. Hingga titi wancinya ketika sudah tua juga akan kembali ke bumi," ungkapnya.
Ruwat bumi ini juga sebagai simbol membuang suker (kotor), hama, serta musibah yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Dalam ruwat bumi di Desa Tambaknegara, dipentaskan pagelaran wayang kulit dimana dalangnya akan membawakan lakon yang berisi nasehat kepada masyarakat.
Hal yang menarik dan hanya ada di Dusun Kalitanjung, Desa Tambaknegara ialah tidak diperbolehkannya penari lengger dan sinden oleh perempuan.
Di dusun ini penari lengger dan sinden merupakan seorang laki-laki. Hal ini berkaitan dengan sejarah dahulu adanya seorang perempuan yang menyebabkan kekalahan pada wilayah ini.
"Dulu apesnya oleh perempuan. Jaman peperangan siapa yang kuat itu yang menang. Hingga terjadilah kekalahan di wilayah ini karena diteror oleh perempuan," jelasnya.

Dalam ruwat bumi ini terdapat sebuah gunungan tinggi yang berisi hasil bumi seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Gunungan tersebut memberikan simbol isining jagad (isinya bumi).
Ruwat bumi sini akan dihadiri oleh para kasepuhan Desa Tambaknegara yang dikenal dengan sebutan Kyai dan Nyai.
Kasepuhan di desa ini berperan sebagai contoh yang baik bagi generasi muda. Semua tindak tanduknya akan menjadi percontohan bagi generasi muda.
Sehingga tidak sembarang orang dapat menjadi bagian dari kasepuhan Desa Tambaknegara. Biasanya mereka yang akan menjadi bagian kasepuhan berasal dari panggilan diri masing-masing.
Hal ini mengingat tanggungjawab yang akan mereka emban sebagai contoh bagi anak cucunya nanti tidak bisa sembarangan.
Tidak heran para kasepuhan di sini rata-rata sudah lanjut usia. Saat ini di Desa Tambaknegara ada sebanyak 225 orang yang menjadi bagian kasepuhan.
Dalam setiap tradisi adat para kasepuhan ini akan mengenakan pakaian adat Jawa serba hitam, untuk laki-laki mengenakan jas Jawa dan ikat kepala, sementara perempuan mengenakan kebaya dan rambut diikat.
"Pakaiannya tidak boleh mencolok hal ini memiliki arti untuk tidak boleh ria. Biarpun rambutnya putih, gigi ompong biarkan apa adanya," jelas Ki Muharto.
Dalam ruwat bumi di sini puncak acara dilakukan dengan pemotongan tumpeng dan doa bersama. Hidangan yang siapkan akan disantap bersama. Hingga nanti akhir acara gunungan buah dan sayuran akan diperebutkan oleh masyarakat yang ada. (*)