Berita Kudus
Notaris DFH Dilaporkan Polisi Atas Dugaan Pemalsuan Tandatangan
Janda tua, Solikah (50), warga Desa Blimbing Kidul, Kaliwungu, Kabupaten Kudus melaporkan tiga orang atas dugaan tindak pidana pemalsuan tanda tangan.
Penulis: raka f pujangga | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, KUDUS - Janda tua, Solikah (50), warga Desa Blimbing Kidul, Kaliwungu, Kabupaten Kudus melaporkan tiga orang atas dugaan tindak pidana pemalsuan tanda tangan.
Laporan tersebut telah disampaikan ke Polres Kudus pada 23 Maret 2022 dan masih dalam tahap penyelidikan.
Kejadian itu membuat Solikah kehilangan sebidang tanah sertifikat hak milik (SHM) di Desa Blimbing Kidul, Kaliwungu, Kudus.
Pengacara pelapor, Teguh Susanto menyampaikan, kliennya tidak pernah merasa menghibahkan tanah kepada siapa pun.
Pihaknya melakukan gugatan perdata dan pidana untuk mengungkap pelaku yang terlibat.
"Kalau perdata, kami berusaha memperoleh hak atas kerugian materiil klien kami. Di samping itu kami adukan tindak pidananya agar dapat mengungkap pelakunya," ujarnya, Selasa (16/8/2022).
Menurutnya, tanah itu merupakan milik Solikah dan Sumardi yakni mantan suami pelapor yang telah meninggal dunia pada 3 Desember 2020.
Tanah tersebut sudah dibeli sejak tahun 1995 bersama mantan suaminya tersebut.
"Pada bulan Januari 2020 anak pelapor mengecek ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepemilikannya tiba-tiba sudah berubah," ujarnya.
Pada 26 Februari 2020, pelapor juga mendapatkan salinan yang isinya pemberitahuan peralihan hak atas tanah kepada Feni Rahayu dan Fina Widya dengan dasar peralihan hak.
"Klien kami tidak pernah menandatangani berkas apapun dalam perkara tersebut ke notaris tetapi proses balik nama tetap beralih," ujar dia.
Untuk itu, pihaknya juga ikut menggugat notaris berinisial DFH yang beralamat di Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.
"Patut diduga kuat adanya pemalsuan data yang digunakan untuk prasyarat peralihan hak atas tanah," jelasnya.
Teguh melaporkan kasus tersebut perbuatan melawan hukum pasal 263 dan 264 KUHPidana dengan ancaman pidana delapan tahun penjara.
"Kami juga mengalami kerugian mencapai Rp 960 juta, karena selama ini tidak bisa menggunakan hak atas tanah tersebut," jelas dia.