Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Feature

Ada Cerita di balik Tato di Tubuh Para Narapidana, Mbah Jo: Jadi Simbol dan Identitas 

Ia menceritakan terpaksa menyayat kulit  menggunakan silet untuk menghilangkan tato tersebut

Penulis: budi susanto | Editor: muslimah
Dok tapoke.tatto
Pembuatan tato dengan cara hand poke atau satu jarum manual, karya dari seniman tato di Kota Semarang. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tato kini dianggap sebagai seni rajah kulit. 

Tak jarang tato jadi gambaran kebebasan berekspresi seseorang.

Jauh sebelum sekarang, orang bertato dicap buruk di masyarakat.

Bahkan muncul stigma, orang bertato bagian dari kelompok kriminal.

Di luar sejarah panjangnya, tato pernah jadi identitas para narapidana.

Tak jarang bekas penghuni Lapas merajah kulit mereka dengan sebuah simbol.

Simbol tersebut tersebut dibuat di dalam penjara dan punya makna tersendiri.

Baca juga: Cerita di Balik Gendang Ring Petir Hadiah Ganjar untuk Farel Prayoga, Dikerjakan Kurang dari 24 Jam

Baca juga: Cerita Mistis Tumbal Pembangunan Manila Film Center Filipina, 12 Pekerja Terkubur Hidup-hidup

Seperti penuturan eks narapidana di salah satu Lapas di Nusakambangan, yang akrab disapa Mbah Jo.

Pria berusia 66 tahun itu, pernah menghuni ruang pesakitan di Nusakambangan di pertengahan 1970-an.

Mbah Jo harus menjalani masa mudanya dalam kurungan lantaran tersangkut beberapa kasus.

Di awal 1980-an ia bisa menghirup udara segar, dan pulang ke rumahnya di Kota Semarang.

"Sebelum bebas saya ditato oleh rekan-rekan saya, tukang gambarnya lebih tua dari saya," terang warga Kuningan Semarang Utara, yang kini tinggal di Kecamatan Semarang Selatan itu, Kamis (1/9/2022).

Dua huruf pun digambar menggunakan jarum dan tinda didekat pergelangan tangan kirinya.

Dua huruf tersebut adalah NS, yang menurut Mbah Jo berarti Nusakambangan.

"Waktu itu memang jadi simbol, orang yang punya tato itu bekas narapidana di Nusakambangan," ucapnya.

Pria berperawakan kekar itu, juga menceritakan proses pembuatan tato NS yang ia dapat.

Jarum yang diikat benang untuk pembatas saat jarum masuk ke kulit.

Tinta bolpoin juga digunakan untuk menggambar tato tersebut.

"Jadi jarum tersebut dicelup ke tinta dan ditusukkan ke kulit, prosesnya seperti itu," terangnya.

Mbah Jo tak lama menghirup udara bebas dan hidup di tengah masyarakat.

Kasus kekerasan hingga pencurian kembali membawanya ke ranah hukum.

Hal itu lantaran kelamnya kehidupan jalanan yang ia jalani.

Ia pun kembali mendekam di Lapas yang ada di Jabar pada 1982 an.

Di sana ia juga mendapat kenang-kenangan tato kalajengking di lengan kirinya.

"Kalau orang dulu nyebutnya ketonggeng. Ada beberapa orang yang digambar kalajengking setelah keluar," terang pria kelahiran 1956 itu.

Setelah menjalani hukuman, Mbah Jo pun dinyatakan bebas pada Desember 1984.

Namun, dua tato yang terpahat di tubuhnya itu seolah menjadi bencana.

Pasalnya pemerintah gencar melancarkan pembrantasan premanisme.

Pemberantasan tindak premanisme itu sering disebut dengan operasi clurit.

Tak hanya itu, isu Penembakan Misterius (Petrus) juga beredar di tengah masyarakat.

"Yang diincar orang bertato Karena dianggap kriminal, saya juga khawatir waktu itu," katanya.

Kekhawatiran Mbah Jo lantaran beberapa rekannya hilang dan hingga kini tak diketahui keberadaannya.

"Katanya ditembak oleh Petrus, saya pun tak berani keluar rumah terang-terangan dan menunjukkan tato saat itu," papar Mbah Jo.

Ketakutan tersebut membuat nekat menghapus dua tato yang terpahat di tangannya.

Ia menceritakan terpaksa menyayat kulit  menggunakan silet untuk menghilangkan tato tersebut.

"Awalnya kulit yang ada tatonya saya gosok dengan sikat terus menerus, setelah luka saya taburkan kapur sirih. Setelah melepuh kulit tersebut saya sayat menggunakan silet," ujarnya.

Rasa sakit pun diderita Mbah Jo berhari-hari, bahkan untuk memulihkan luka itu butuh waktu beberapa bulan.

"Sampai sekarang bekas lukanya masih ada, di tahun itu saya berpikir dari pada ditembak mati lebih baik tato saya hapus," jelasnya.

Tak hanya Mbah Jo, Nanda (47) yang pernah menjalani hukuman di Lapas Kedungpane juga menceritakan hal serupa.

Menurut warga Kota Semarang itu, di Lapas Kedungpane juga punya simbol tato tersendiri.

"Ada beberapa tato khusus waktu itu, yang paling menonjol adalah gambar ikan hiu di punggung," terang Nanda yang pernah menjalani hukuman pada 2008 hingga 2009 karena kasus kekerasan itu.

Gambar ikan hiu tersebut diceritakanny khusus untuk narapidana dari wilayah pesisir Semarang.

"Sebutan mereka Geng Ujung atau orang-orang pesisir Semarangan," terangnya.

Nanda menyebutkan tukang tato di Lapas dinamai tukang tembak untuk menggambar tato ke warga binaan.

"Saat itu tukang tembak ada di blok F, saya sendiri di blok G atau sering disebut blok gendruwo," Imbuhnya.

Ditambahkannya, tukang tembak biasanya mendapatkan rokok maupun uang sebagai ganti jasa tato.

"Alatnya pakai jarum, dinamo dan bolpoin. Ya alat rakitan untuk membuat tato tersebut," tambahnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved