Wawancara Khusus
Soroti Kasus AIDS, Prof. Zubairi Djoerban: Pertama Kali Terdeteksi Diderita Seorang Perempuan (1)
Indonesia tahun 1986, ada kasus di Rumah Sakit Islam dan saya bekerja di sana, perempuan dengan autoimun karena kondisinya lemah saya periksa...
TRIBUNJATENG.COM - Pionir penanganan HIV/AIDS di Indonesia Prof. dr. Zubairi Djoerban angkat bicara soal merebaknya kasus HIV di wilayah Jawa Barat.
Dokter spesialis penyakit dalam dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai penyebaran masif HIV bisa diakibatkan beberapa faktor.
Prof Zubairi menyebut satu di antara alasannya banyak pasien HIV/AIDS yang putus meminum obat karena merasa sudah bugar. bagaimana awal kasus HIV?AIDS di Indonesia?
Berikut kutipan wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Prof. dr. Zubairi Djoerban di Jakarta Breast Center, Jumat (2/9):
Soal kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia, dan Prof terlibat di dalam temuan itu, bisa diceritakan?
Pada tahun 1982-1983 saya mendapat tugas belajar ke Perancis belajar lebih jauh mengenai leukimia, untuk memeriksa leukemia yang ternyata yang macam-macam itu diperlukan tes antibodi monoklonal untuk antara lain untuk memeriksa CT form.
Kemudian di tahun 1983 itu saya pertama kali di rumah sakit di bagian selatan Perancis ada kasus pertama itu HIV/AIDS waktu itu virusnya belum ketahuan hanya keluhannya kekebalan turun lama-lama menurun dan meninggal. Kemudian kekebalannya drop hanya CT form 4,5.
Akhirnya balik tahun 1983 ke Jakarta, dan lapor ke kepala departemen. Kami coba test waria di Taman Lawang, ada beberapa waria yang CT form rendah sekali. Meskipun CT formnya rendah tapi masih banyak penyebab lain.
Beberapa tahun kemudian saya tanya pada lingkungan ternyata sudah menjalar. Kebetulan atau entah kenapa dari teman media dari majalah Tempo terbit di majalah Tempo kemudian dipublikasikan di Kongres penyakit dalam tahun 1984.
Jadi tahun 1984 baru ketemu mula-mula virusnya, jadi virusnya kemudian tahun 1985 bulan Juli sampai dengan pertemuan Edge pertama dunia di di Atlanta di situ kemudian ketahuan virusnya namanya HIV.
Nah tes itu kemudian saya bawa ke Indonesia tahun 1986, ada kasus di Rumah Sakit Islam dan saya bekerja di sana perempuan dengan autoimun karena kondisinya lemah saya periksa ternyata positif. Dan kemudian juga meninggal dan menjadi viral istilahnya. Itu kasus-kasus pertama.
Si X ini, yang terinfeksi HIV. Itu dia dapatnya dari mana?
Iya jadi penerawang kami ternyata ada banyak yang ternyata dari hubungan seksual saja. Jadi riwayatnya waktu itu dari Amerika Los Angeles, San Francisco, New York, New Jersey yang di sebelah sana kebanyakan teman-teman muda di kalangan laki sama laki.
Kalau yg di New York dan New Jersey kebanyakan penggunaan narkotika. Jadi gampang ketahuan. Dan gampang ketahuan lagi ternyata bisa lewat laki ke perempuan. Dan kemudian makin banyak ditemukan di Afrika dan di hampir semua benua akhirnya.
Dan ternyata penularan laki ke perempuan dan perempuan ke laki, jauh lebih banyak daripada penularan homoseksual dan dalam tanda kutip orang yang lain seksual, bisa hetero bisa mono, kemudian narkotik, dan ketiga lewat transfusi darah.
Jadi waktu itu pasien-pasien hemofilia mendapatkan faktor 8 ini intinya adalah donor dikumpulkan banyak kemudian diolah, ketika tercemar satu, maka semuanya kena, banyak di indo kasus yang saya tangani dengan hemofilia.
Kemudian, setelah cara tesnya, sekarang proses untuk faktor 8 sudahi, dan darah yg keluar dari PMI dan program transfusi darah manapun disaring bersih, 99,9 persen tidak bisa 100 persen tapi bisa dikatakan semuanya tidak terjadi penularan.
Nah keempat, jadi kalau seorang ibu tertular hiv dan dia hamil, disitu resiko bayinya tertular itu antara 20-30 persen. Namun kemudian kalau Ibu ini minum obat maka resiko penularan nol.
Sekarang di banyak negara bagian di Amerika tidak ada lagi bayi lahir dari ibu yang positif yang tertular karena si Ibu minum obat. Namun kenyataannya di Indonesia berbeda karena Ibu ini ternyata tidak semua ibu hamil tes HIV itu yang terjadi di kita dan penularan di layanan kesehatan (jarum suntik).
Jadi misalnya menyuntik seseorang setelah suntik jangan ditutup lagi nah proses penutup ini kemudian bisa meleset. Jadi sekarang tidak boleh lagi, recapping, menutup kembali spet ke tutupnya. Itu yg kelima.
Dari kelima itu yang paling tinggi persentasenya yang mana (penularan)?
Yang paling tinggi dari laki ke perempuan, perempuan ke laki, heterogen. Penularan seksual.
Apakah fenomena LGBT di Indonesia yang semakin hari semakin marak justru bisa menjadi pengungkit atau pemicu infeksi HIV AIDS?
Iya kan dari awal memang mula-mula dulunya di sana. Saya kira edukasi yang berulang-ulang itu ternyata yang banyak orang merasa cukup, ternyata tidak cukup karena masih banyak yang tidak tahu mengenai penularan. (Tribun Network/Reynas Abdila)