Berita Nasional
Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi 1998, Tiap Hari Ada yang Dibunuh, Dalang Utama Misterius
Selain dukun santet, pembunuhan massal itu juga menyasar kalangan santri dan kiai di Banyuwangi
Ketika radiogram dari Purnomo Sidik baru dikeluarkan pada Februari 1998, sudah terjadi pembunuhan terhadap orang-orang yang dituding sebagai dukun santet di Banyuwangi.
Sejak Januari hingga Maret 1998, dilaporkan terjadi lima kasus pembunuhan terhadap dukun santet di Banyuwangi.
Adapun korban pembunuhan telah mencapai puluhan orang pada September 1998.
Pada September 1998, Bupati Purnomo Sidik kembali mengeluarkan radiogram berisi penegasan terhadap instruksi sebelumnya, yakni pendataan orang-orang yang dinilai memiliki kekuatan magis untuk melindungi mereka dari kekerasan.
Akan tetapi, setelah dilakukan pendataan oleh pemerintah, tragedi pembantaian terhadap orang-orang yang dituding sbeagai dukun santet, justru kian meluas.
Dalam satu hari, disebutkan ada dua hingga sembilan orang yang dibunuh di Banyuwangi.
Menyasar kalangan santri
Selain dukun santet, pembunuhan massal itu juga menyasar kalangan santri dan kiai di Banyuwangi.
Kalangan santri, kiai, atau guru agama di Banyuwangi yang dituduh sebagai dukun santet, sehingga kemudian dibunuh orang kelompok orang tak dikenal.
Pembunuhan terhadap kalangan santri, kiai, dan guru agama ini disebut-sebut lekat dengan motif politik.
Pangdam V Brawijaya kala itu, Mayjen TNI Djoko Subroto, mengungkapkan pembunuhan yang terjadi pada Januari hingga Juli 1998, kemungkinan memang dilatarbelakangi motif kebencian terhadap dukun santet
Namun, ia tidak menampik bahwa pembunuhan yang meluas di Banyuwangi pada Agustus hingga September 1998, telah disusupi unsur-unsur lain.
Situasi politik nasional yang sedang tidak menentu kala itu menjadi salah satu faktor teror terhadap masyarakat Banyuwangi.
Kala itu, mulai muncul aksi demonstrasi untuk mendesak Soeharto lengser seusai terpilih kembalo sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Adapun masyarakat Banyuwangi yang terkenal sebagai kawasan tapal kuda Nadhlatul Ulama (NU) diduga sengaja dipilih dengan motif politik.