Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

FOKUS: Sepakbola Keledai

Jika ada diksi lain dengan makna serupa, semisal kegaduhan, amuk, bentrok atau huru-hara, sudah bisa disematkan ke olahraga paling populer ini. Terkhu

Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: m nur huda
tribunjateng/cetak/grafis bram kusuma
Abduh Imanulhaq atau Aim wartawan Tribun Jateng 

Tajuk Ditulis Oleh Wartawan Tribun Jateng, Abduh Immanulhaq

TRIBUJATENG.COM - KERUSUHAN, kericuhan, dan keributan. Kata-kata ini makin identik dengan suasana kompetisi sepakbola nasional di Indonesia.

Jika ada diksi lain dengan makna serupa, semisal kegaduhan, amuk, bentrok atau huru-hara, sudah bisa disematkan ke olahraga paling populer ini. Terkhusus di Tanah Air.

Setuju atau tidak, disangkal atau tidak, memang begitu kondisinya. Tentu saja kita prihatin.

Kalau terus dibiarkan tanpa upaya serius mengatasinya, bisa-bisa bertambah pilihan kata lain yang identik dengan laga sepakbola. Liar, barbar atau binal, misalnya.

Tentu saja kita berharap situasi demikian tak pernah terjadi. Satu yang sudah lama menjadi harapan mayoritas bangsa ini, sepakbola identik dengan diksi "prestasi" dan "damai".

Penonton datang senang, pulang pun riang. Pemain berunjuk keahlian mengolah bola, wasit memutuskan secara adil dan benar. Semua pihak bahagia.

Jauh panggang dari api, harapan tinggal harapan. Sepakbola kita masih senang ribut, suka letupan-letupan, bergolak-golak, meledak-ledak.

Baik di luar lapangan maupun di dalamnya. Seolah-olah tanpa itu semua, permainan ini tidak akan gayeng. Tidak seru.

Terbaru yang menyesakkan, laga Arema FC versus Persebaya berakhir ricuh. Awan hitam kemudian memayungi dunia sepakbola nasional, bahkan internasional.

Penonton turun ke lapangan merespons kekalahan tim kebanggaan mereka. Aparat tak tinggal diam sehingga terjadi kericuhan yang menelan lebih dari seratusan korban meninggal.

Semua bisa menyampaikan dalih. Segala hal bisa menjadi alasan. Sudah banyak yang membuat riset, menulis buku, dan menyusun liputan mendalam mengenai musabab kerusuhan dalam sepakbola lokal di Indonesia.

Begitu pula mengenai cara meminimalkan, bahkan menghilangkan konflik. Baik secara struktural maupun kultural, sektoral maupun integral. Kampanye fairplay dan sportivitas digaungkan. Lagi-lagi masih jauh panggang dari api.

Yang makin menggelisahkan, dampak konflik itu makin meluas, tak hanya di dalam dan luar lapangan. Jika dibiarkan, masalah sepakbola nasional akan makin rumit.

Suporter yang mendukung timnya melawat ke kandang tim lain, makin biasa bentrok atau ribut dengan orang yang tidak berkepentingan. Mereka adalah warga di daerah yang dilewati dalam perjalanan itu.

Kita tentu berharap korban Tragedi Kanjuruhan adalah yang terakhir di dunia sepakbola nasional. Tidak ada lagi korban-korban lain yang berjatuhan.

Hukuman berat harus dijatuhkan kepada pihak yang bersalah, siapa pun mereka. Supaya menjadi pelajaran penting bahwa semua kesalahan bakal mendapat hukuman setimpal.

Kita juga berharap-harap cemas menanti sanksi yang mungkin dijatuhkan badan sepakbola dunia FIFA. Bukan tak mungkin hukuman itu sangat keras.

Satu yang menjadi pertanyaan, apakah insiden berikut sanksinya itu bisa membuat situasi balbalan nasional kondusif? Ataukah hanya ditanggapi secara reaktif sebelum kemudian semua pemangku kepentingan melupakannya?

Kemuliaan klub atau kompetisi tak sebanding dengan satu nyawa yang melayang. Apalagi jika harus ditebus dengan ratusan jiwa. Semoga publik sepakbola Indonesia bukan keledai. (*/tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved