Kian Rasional, Pemilih Ingin Pemimpin yang Punya Gagasan dan Tak Hanya Jual Isu Primordial

Pemilih pada Pemilu 2025 dinilai akan mengesampingkan isu primordial dan lebih mendasarkan pilihan pada gagasan program dan pengalaman kerja.

Penulis: IJS | Editor: APS
Istimewa
Talkshow "Memilih, Damai Yang Muda Yang Primordial?" di FISIP Unair, Jumat (2/12/2022). 

TRIBUNJATENG.COM - Pemilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diprediksi akan semakin rasional. Mereka dinilai akan mengesampingkan isu primordial dan lebih mendasarkan pilihan pada gagasan program dan pengalaman kerja.

Kesimpulan itu disampaikan dalam acara bincang bersama "Memilih, Damai Yang Muda Yang Primordial?" di Kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (2/12/2022).

Acara yang digagas Tribun Network itu menghadirkan Pengamat Ekonomi Politik Fachry Ali, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Airlangga Pribadi Kusman, dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unair Pradipto Niwandhono sebagai narasumber.

Peneliti Litbang Kompas Yohan Wahyu yang memberikan pemaparan pada awal diskusi menjelaskan, ada tiga tokoh yang memiliki elektabilitas tertinggi sebagai calon presiden, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.

Litbang Kompas memotret alasan pemilih menentukan calon yang ternyata berbeda-beda. Prabowo misalnya, dipilih karena dianggap sebagai figur yang tegas.

"Pemilih Prabowo karena alasan figur ketegasan, kemudian Ganjar karena merakyat, dan Anies karena kinerjanya. Masing-masing memiliki karakteristik berbeda di hadapan pemilih," kata Yohan,

Di samping 3 nama itu, muncul tiga nama lain yang ternyata berasal dari luar etnis Jawa, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno, dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil.

"Muncul tiga nama figur di luar (etnis) Jawa. Mereka adalah Erick Thohir, Sandiaga Salahuddin Uno, hingga Ridwan Kamil," katanya.

Munculnya sejumlah nama tersebut menunjukkan pemilih mulai rasional dengan melepas isu primordial. Pemilih tidak lagi terkesan dengan latar belakang etnis atau suku tertentu, tetapi juga mempertimbangkan program hingga pengalaman kerja.

"Mereka ini kan juga aktif di media sosial. Kontennya dekat dengan anak muda yang mungkin apabila dinilai kalangan tua, ini terlalu receh. Namun, konten seperti ini yang justru interaktif dan memiliki eksposur yang tinggi dari anak muda," katanya.

Dengan munculnya figur tanpa mengenal latar primordial seperti asal kedaerahan, Pemilu 2024 pun diprediksi berjalan baik. Nantinya, kampanye akan banyak diisi dengan adu gagasan.

Menurut Yohan, pada dua pemilu terakhir, tidak banyak isu yang dibawa calon pemimpin saat kampanye. Akibatnya, isu primordial banyak dimunculkan untuk menghasilkan polarisasi.

Adu gagasan harus diutamakan, mengingat pemilih rasional yang berasal dari pemilih mula atau milenial jumlahnya cukup besar pada 2024 mendatang. Angkanya nyaris 50 persen terhadap potensi jumlah pemilih.

"Calon pemimpin menyampaikan soal keseharian mereka di masing-masing tugas. Pemilih akan cenderung memilih figur yang bisa menghadirkan solusi dari masalah mereka, termasuk penguatan demokrasi dan program yang langsung menyentuh pemilih," katanya.

Pengamat Ekonomi Politik Fachry Ali, menyambut baik hasil penelitian tersebut. Menurutnya, hal ini menjadi alarm bagi kandidat untuk tak boleh hanya sekadar menjual isu primordial.

"Fenomena ini memperlihatkan bahwa dasar struktur masyarakat dalam konteks demografi sedang bergerak. Mereka yang lahir tahun 80-an ke bawah, semakin kecil, di atas itu semakin membesar," katanya.

Ia menilai, saat ini masyarakat semakin dewasa dalam memperhitungkan sosok pemimpin. Mereka tidak lagi berbicara masalah latar belakang kedaerahan.

"Kelihatannya, bahwa ikatan primordial di bidang etnis, mengalami penolakan," katanya.

Meski begitu, ia mengakui bahwa isu primordial tak bisa lepas begitu saja pada pemilu, terutama yang berkaitan tentang agama.

Oleh karenanya, sebut dia, kandidat pemimpin masih harus ditopang dengan berbagai hal pendukung, seperti program dan pengalaman.

"Apalagi, pemimpin nasional berlatar belakang dari luar Jawa juga bukanlah baru. Contohnya adalah nama Hamzah Haz serta Jusuf Kalla yang pernah menjadi Wakil Presiden. Figur-figur tersebut justru membuktikan adanya faktor elektoral. Munculnya kandidat pemimpin yang berasal dari luar Jawa, justru bisa jadi penyeimbang," tuturnya.

Menurutnya, keberadaan media massa dan media sosial turut mempengaruhi cara kandidat dalam bersosialisasi.

"Para calon pemimpin ini harus menarik bagi pemlihnya. Ini menarik, karena milenial memiliki kecenderungan untuk tak terlibat secara langsung dalam politik," katanya.

Pengajar FISIP Unair Airlangga Pribadi Kusman mengatakan, kalangan elite partai politik (parpol) harusnya tidak hanya menggunakan jargon, tetapi juga persoalan yang riil atau dekat dengan milenial.

Misalnya, realitas ekonomi politik bahwa milenial sebagian besar saat ini masuk dalam arus besar ekonomi digital. Tiga puluh tiga juta tenaga kerja digital di Indonesia sebagian besar kalangan milenial dan sekarang sedang menghadapi tantangan krisis," kata Airlangga.

Selama ini, persoalan tersebut belum banyak tersentuh optimal oleh kalangan elit politik. Padahal kalangan milenial mendambakan pemimpin yang paham betul persoalan mereka.

Airlangga meyakini isu primordialisme pada Pemilu 2024 bisa berpotensi rontok.

"Meskipun tak dapat dipungkiri primordialisme memang tak selalu berkonotasi buruk. Namun, memang penting untuk diskusi kapasitas dan kemampuan figur," ujarnya.

Sebagai informasi, diskusi tersebut dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Tribun Jatim Network Tri Mulyono. Acara ini bertujuan mengkaji potensi penggunaan isu primordial pada Pemilu 2024, termasuk dampaknya terhadap elektoral.

Vice General Manager Business Harian Surya Adi Widodo sebagai pihak yang membuka acara berharap diskusi tersebut bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat.

"Secara hukum siapa pun bisa menjadi presiden, siapa pun bisa menjadi anggota dewan. Semua orang asal warga negara Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih," imbuhnya.

Adapun diskusi diikuti oleh para mahasiswa dan dosen dari Surabaya. Mereka terlihat sangat antusias menyimak diskusi yang diisi oleh beberapa narasumber yang ahli di bidang masing-masing.

Pada kesempatan itu, Wakil Dekan II Fisip Unair Sulikah Asmorowati menegaskan, pihaknya akan berkomitmen untuk mendukung pemilihan umum yang damai dan bersih.

"Dengan begitu akan menghasilkan pemimpin bangsa yang bagus, kompeten, inovatif dan progresif untuk Indonesia yang lebih baik kedepan," harapnya.

Salah satu mahasiswa FISIP Unair Elfa Indah mengakut terbantu dengan adanya diskusi tersebut. Ia merasa kini telah memiliki standar baru untuk memilih calon pemimpin pada Pemilu 2024.

"Belum ada gambaran sebenarnya untuk memilih pemimpin. Tapi saya memiliki standar sendiri yang akan saya pilih, salah satunya berprinsip karena kalau catatan tidak selalu menghasilkan pemimpin yang kami inginkan," ungkapnya.

BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved