Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Demak

Kisah Ningsih di Sayung Demak Anaknya Stunting Rumahnya Hampir Tenggelam Karena Air Rob

Sri Ningsih (39)  digelayuti anak ketiganya bernama Lutfi Yahya (3) saat duduk santai di depan rumah panggung mereka di Desa Timbulsloko.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
Tribun Jateng/ Iwan Arifianto
Sri Ningsih (39) saat duduk santai di depan rumahnya yang direndam banjir rob. Anak ketiganya Lutfi Yahya (3) alami stunting akibat hidup di tengah kondisi rob,  di Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jumat (30/12/2022). 

Ia sebagai single parents harus menghidupi tiga orang anaknya di tengah penghasilan tak menentu. 

Pekerjaannya hanya sebagai buruh mengelupas kerang, sehari mentok penghasilan Rp20 ribu per hari.

Kerjanya libur ketika  nelayan libur seperti kondisi seperti sekarang yang mana cuaca pesisir tak bersahabat. 

Seringkali kebutuhan sehari-harinya dibantu oleh kerabat yang kondisinya juga serba terbatas. 

"Anak paling besar laki-laki tapi putus sekolah, lulus SMP tidak melanjutkan. Dua anak perempuan saya masih 5 tahun dan 4 tahun, keduanya stunting tapi hanya satu saja yang bisa dimasukkan untuk mendapatkan bantuan karena syaratnya seperti itu, satu rumah satu anak," bebernya.

Perempuan pengidap kanker payudara itu menyebut, nutrisi dua balitanya mengandalkan bantuan susu dari pemerintah. 

Ia tak membayangkan semisal tidak mendapatkan bantuan tersebut.

"Full bantuan susu dari pemerintah kalau tidak ya tidak bisa beli susu," ungkapnya.

Supriyono (40) warga Tambak Lorok, menyebut, kondisi rob diakuinya memang berpengaruh terhadap  kesehatan anaknya.

Terutama terhadap anak kelimanya yang alami stunting. "Ada rob bikin anak sering sakit jadinya tidak mau makan, makannya sulit jadinya stunting," ujarnya.

Ia dan istrinya sudah berupaya untuk memperbaiki kondisi gizi anaknya. 

Terutama istrinya, Sukmaningsih (36), di tengah kesibukannya  bekerja sebagai buruh pabrik kadangkala sering membuat menu makanan pendamping ASI (MPASI). 

"Saya lihat caranya di YouTube, namun karena anak seringnya sama suami jadi makanan kalau tidak beli ya bikin kuah mie instan," ujar Sukmaningsih. 

Rumahnya yang direndam rob berdampak pula bagi kesehatan anaknya berupa sering sakit pilek, batuk hingga demam sehingga nafsu makan berkurang.

Kondisi tersebut lebih parah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mana rob terjadi hampir setiap hari sebelum ada sheet pile di depan rumahnya.

Dulu keempat anaknya kerap terkena diare karena direndam rob setiap hari.

"Sekarang rob terjadi  saat gelombang tinggi saja, sakit diare sudah jarang seringnya sakit demam dan panas," papar Supriyono.

Perempuan Tambak Lorok, Supriyanti (35), menuturkan, anaknya yang berusia tiga tahun mengalami stunting sejak setahun lalu. 

Diakuinya, kondisi rob tidak bisa jualan sehingga tidak bisa kerja yang berimbas tak ada pemasukan. Hal itu secara langsung berdampak pada pemenuhan gizi anaknya.

"Makan jadi seadanya, tahu dan tempe mengikuti orangtua," terangnya.

Rumahnya memang berpagar  lautan yang berada di sebelah barat. Akibat kondisi rob, banyak sampah terbawa hingga menyangkut di kolong rumahnya yang didesain rumah panggung supaya tidak terendam rob. 

"Rumah persis di pinggir laut, memang tidak sehat, anak seringnya kena batuk pilek, jadi susah makan,"  ungkapnya.

Ia menyebut, belum sempat bikin MPASI bagi anaknya lantaran tidak ada waktu. Seluruh waktunya habis untuk bekerja sebagai pedagang sayur dan mengurus tiga anaknya. Sedangkan suaminya sibuk berjualan ikan.

"Anak saya tiga memang kecil-kecil, mungkin semuanya dulu stunting tapi tidak terdeteksi," jelasnya.

Koordinator kader stunting  Tambak Mulyo dan Tambakrejo,  Tanjung Mas,Suntiah (52) mengatakan, faktor alam seperti rob ikut berkontribusi  dalam menyumbang stunting.

Keterkaitan tersebut dapat dilihat secara garis lurus yang mana banjir rob membuat nelayan kesulitan melaut  yang berimbas pemasukan seret.

"Makan jadi seadanya begitupun bagi balita," tuturnya.

Kondisi anak stunting semakin menderita di tengah banjir rob karena daya tahan tubuh mereka rentan.

Di samping itu, mereka harus bertahan di situasi tersebut sehingga lebih mudah terserang demam, flu, dan diare. Hal itu berhubungan pula terhadap nafsu makan yang menurun.

"Dari persoalan itu penangan stunting di sini tak mudah seperti membalikkan kedua telapak tangan," ucapnya.

Kendati demikian, pihaknya mengklaim angka stunting di kawasan pesisir mengalami penurunan setiap tahunnya. 

Pada tahun 2020 di angka 230 balita, tahun 2021 menjadi 109 balita, hingga Desember tahun 2022 turun menjadi 87 balita.

"Khusus Tambak Lorok dari RW 12 sampai RW 16 tinggal 16 balita stunting," terangnya.

Namun, lanjut dia, angka tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya yang hanya dua sampai tiga orang dengan cakupan wilayah yang sama. 

"Ya memang angka stunting selalu tambal sulam, balita satu lepas stunting tapi selalu ada temuan baru.  Ada beberapa faktor penyebab selain lingkungan adapula karena pola pikir, pola asuh dan pola hidup," bebernya.

Ia menyebut, penanganan stunting di pesisir supaya lebih cepat terselesaikan harus ada intervensi gizi secara lebih masif seperti asupan susu, suplemen atau vitamin diperbanyak. 

"Pemerintah bisa kerjasama dengan akademisi bagaimana menangani persoalan ini," imbuhnya.

Rob dan Stunting 

Presiden Jokowi di tahun 2024 menargetkan angka stunting dapat ditekan menjadi 14 persen. Berbagai program dicanangkan untuk mengejar target tersebut. 

Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting sebesar 24,4 persen pada 2021. Angka tersebut lebih rendah dibanding 2020 yang diperkirakan mencapai 26,9 persen. 

Kendati demikian, angka tersebut menunjukkan hampir seperempat balita di Indonesia mengalami stunting di tahun lalu.

Berbagai daerah di Indonesia memiliki prevalensi stunting tinggi seperti wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten dan Sumatera. 

Daerah lainnya meliputi Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Aceh, Kalimantan Barat,  Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019, Prevalensi Jawa Tengah berada di angka 27,68 persen, dan data SSGI 2021 turun tajam menjadi 20,9 persen. Merujuk data itu, berarti 1 dari 5 balita di Jawa Tengah alami stunting.

Persoalan stunting di kawasan pesisir juga tidak dapat dipandang sebelah mata. 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Demak, total kasus stunting keseluruhan di Kabupaten Demak pada tahun 2021 mencapai 4.215 balita.

Tersebar di Kecamatan  Kecamatan Bonang 702 balita, Sayung 427 balita, Wedung 349 balita dan Karangtengah 154 balita. Empat kecamatan tersebut berada di pesisir Demak yang terdampak abrasi.

Sisa angka stunting tersebar di kecamatan lainnya seperti di Guntur total stunting 694,Kecamatan Wonosalam 406,Demak 353, Mijen 150, Kebonagung  87, Karangawen 193,  Karanganyar 130 dan Mranggen 207.

Begitupun di Kota Semarang, merujuk data Dinas Kesehatan Kota Semarang pada Agustus 2022 mencatat ada 1.465 kasus balita mengalami stunting dari total 95.447 balita.

Kasus terbanyak berada di Kecamatan Semarang Utara dengan total 236 kasus. Lebih rinci, kasus tertinggi berada di Kelurahan Bandarharjo sebanyak 75 balita, sedangkan Tanjung Mas terdapat 87 balita. 

Dua kelurahan tersebut berada di kawasan pesisir.

Berkaitan banjir rob di Demak dan Semarang apakah mempengaruhi kondisi anak stunting, Dokter spesialis anak, Dr.dr.Muhammad Heru Muryawan SpA(K) mengatakan, status kesehatan dipengaruhi dari hal paling besar yakni lingkungan baik itu geografis,biologi,psikologi,sosial,ekonomi dan budaya.

Disusul perilaku kesehatan berupa perilaku hidup sehat dari masyarakat.

Kemudian faktor genetik yakni sehat atau ada penyakit sejak dalam kandungan.

Terakhir dukungan pelayanan kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit , rumah sakit rujukan dan lainnya. 

"Jadi, kondisi lingkungan yang tidak optimal mempengaruhi kondisi kesehatan anak," bebernya yang juga Sekertaris umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jawa Tengah.

Selain itu, dalam jangka waktu panjang beragam penyakit dapat menimpa anak ketika
dalam kondisi rob seperti penyakit infeksi umum meliputi penyakit kulit, diare, infeksi saluran pernafasan akut, dan
leptospirosis.

"Penyakit lain yakni status gizi baik gizi kurang atau  gizi buruk," bebernya.

Melihat kondisi itu, ia mendorong upaya yang bersifat lintas program dan lintas sektoral untuk penanganan dan
pencegahan.

"Perlu pula melibatkan
organisasi profesi termasuk IDI dan organisasi profesi kesehatan lain," terangnya.

Lindungi Pesisir 

Terpisah, menurut Pakar Lingkungan dan Tata Kota Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila, menjelaskan, kawasan permukiman yang terendam rob memang lebih rentan anak-anaknya mendapatkan persoalan kesehatan seperti stunting.

Sebab, praktik di lapangan yang terjadi yaitu uang yang semestinya digunakan sebagai pemenuhan gizi anak tetapi dialihkan  sebagai kebutuhan untuk menanggulangi dampak rob seperti peninggian rumah.

"Artinya ada hubungan tidak langsung antara rob dengan stunting karena dana seharusnya meningkatkan kualitas kesehatan teralihkan ke kebutuhan peninggian rumah yang membutuhkan biaya hingga puluhan juta," katanya kepada Tribun Jateng.

Diakuinya, banjir rob imbas perubahan iklim berpengaruh  kepada banyak hal, tak hanya ke persoalan stunting tapi sosial budaya masyarakatnya. Di antaranya nelayan harus berubah mata pencaharian, dari nelayan ke buruh atau pekerjaan lainnya.

"Hal itu bisa dilihat di pesisir Jateng, tipikal hampir sama. Paling parah ya pesisir Demak bisa dilihat di Timbulsloko, begitupun di kota Semarang di Tambak Lorok dan Tambak Rejo," terangnya.

Melihat kondisi itu, ia mendorong pemerintah untuk menekan pembangunan infrastruktur besar di kawasan pesisir. 

Selanjutnya melakukan proteksi kawasan pesisir supaya tidak terjadi abrasi dan rob. 

"Langkah awal dengan tanggul, tapi jangan hanya pembangunan fisik melainkan  dibarengi dengan konservasi lingkungan seperti penanaman mangrove," ujarnya.

Terkait penangan stunting di wilayah rob, Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang,  Abdul Hakam, menjelaskan, anak stunting hidup di wilayah rob atau banjir yang paling penting air yang dikonsumsi bersih tidak mengandung bakteri maka tidak masalah. 

Persoalannya ketika banjir rob sudah terjadi menahun maka harus dicarikan solusi.

"Nah, infrastruktur harus difokuskan ke daerah-daerah yang memang sanitasi terganggu dan air bersih kurang maksimal, penanganannya memang harus lintas sektoral," ungkapnya.

Diakuinya, secara prevalensi sebenarnya angka stunting di daerah Kota Semarang sisi selatan dan  tengah lebih tinggi, namun  secara  jumlah akumulasi paling banyak di sisi utara atau pesisir. 

Hal itu terjadi karena di sana jumlah bayi lebih banyak. "Maka paling tinggi di utara, apalagi persoalan di sana lebih kompleks," bebernya.

Persoalan tersebut mulai dari sanitasi kurang bagus dan air bersih yang tidak memenuhi syarat.

Di samping itu ibu hamil  dengan kondisi kurang baik presentasinya cukup tinggi. 

"Persoalan itulah yang mendasar kasus stunting baru cukup tinggi di sana (Semarang utara)," tandasnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved