Fokus
Fokus : Unggah-ungguh Bima
KOCAP kacarita, Bima dikenal tidak memiliki unggah-ungguh. Dia tidak pernah mau duduk, di hadapan siapa pun. Dia selalu berdiri.
Penulis: achiar m permana | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Achiar M Permana
Wartawan Tribun Jateng
KOCAP kacarita, Bima dikenal tidak memiliki unggah-ungguh. Dia tidak pernah mau duduk, di hadapan siapa pun. Dia selalu berdiri. Di hadapan raja sekalipun.
Ksatria yang dikenal sebagai panenggak atau penegak Pandawa itu juga nyaris selalu berbahasa ragam kasar atau ngoko kepada lawan-lawan bicaranya. Pun kepada para dewa, yang turun dari kahyangan. Padahal, semua wayang lainnya, termasuk Kresna—yang konon titisan Batara Wisnu—tetap berbahasa krama inggil kepada para dewa.
Putra kedua Prabu Puntadewa dan Dewi Kunti melakukan kedua hal itu, bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk, hanya beberapa kali. Yakni, ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci dan ketika dia bertemu dengan Dewaruci.
Boleh saja orang menganggap Werkudara, dasa nama atau sebutan lain Bima, sebagai sosok yang urakan atau bahkan kasar dan tak tahu sopan santun. Kendati demikian, dia tetap menaruh hormat pada gurunya, Begawan Drona. Sebagai murid, Bima merupakan murid yang patuh. Dia akan menurut apa pun perintah gurunya, musykil sekalipun.
Alkisah, suatu ketika Drona memerintahkan Bima untuk mencari kayu gung susuhing angin, kayu kokoh di tengah pusaran badai, dan tirta perwitasari, demi mendapatkan kesempurnaan hidup. Oleh Drona, kayu gung susuhing angin itu berada di puncak Gunung Candramuka. Adapun tirta perwitasari berada di kedalaman Samudra Minangkalbu.
Tanpa banyak cakap, Bima langsung menyanggupi. “Yen pancen ana kono papan panggonane, mbesuk ndadak ngenteni apa, Durna Bapakku, Aku njaluk pamit lan njaluk pangestumu,” kata Werkudara, tetap dengan basa ngoko.
“Persis cangkemmu, ya Kang. Gak isa basa blas!” sindir Dawir, sedulur batin saya.
Kisah Bima yang kasar, Werkudara yang tidak kenal unggah-ungguh, tetapi tetap hormat pada guru, meloncat ke kepala saya, ketika membaca berita tentang siswa SMA di Bengkulu yang “berani” memukul gurunya. Aduh! Sekasar-kasarnya Bima, dia tetap hormat pada gurunya. Dia memang tidak mau duduk, selalu memakai basa ngoko, tapi tak mungkin membayangkan dia berani memukul Drona.
Bahkan, ketika dalam Perang Baratayuda kubu Kurawa menunjuk Drona sebagai Senapati Agung, tak satu pun ksatria Pandawa—termasuk Bima—yang berani ditunjuk sebagai senapati Pandawa. Para ksatria Pandawa, juga Bima, tak mungkin berani melawan gurunya.
Seorang siswa SMA kelas XI, ST, dilaporkan ke polisi seusai memukul gurunya sendiri, SV (41), di Bengkulu. Dia menganiaya guru yang juga Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan itu dengan alat briket sehingga membuat kepala sang guru korban benjol dan memar. Korban pun melaporkan kasus penganiayaan oleh siswanya itu ke Polsek Ratu Agung, Bengkulu.
Penganiayaan itu terjadi, pada 9 Desember 2022 lalu, lantaran pelaku tak terima atas teguran korban. Awalnya, korban yang memanggil pelaku ke sekolah bersama orang tuanya setelah merusak sepda motor temannya. Tidak hanya itu, ST juga sering melakukan sejumlah pelanggaran seperti tidak masuk kelas dan mengikuti jam pelajaran.
"Terkait pelanggaran yang dilakukannya dia (pelaku—Red) saya suruh untuk mendatangi surat peringatan tapi tidak mau," ungkap SV, dilansir dari Tribun Bengkulu, Kamis (5/1/2023).
Kasus di Bengkulu itu, sungguh, terasa “agak berbeda” dari yang biasa terjadi. Peristiwa murid memukul guru, apalagi pada bagian kepala pula, rasanya menerbitkan nyeri di ulu hati.
“Mbokmenawa, ndonyane pancen wis akir ya, Kang!?” kali ini Dawir hanya berbisik lirih. (*)
Baca juga: 7 Trik Mengatasi WA WhatsApp Error karena Jaringan Internet
Baca juga: Tak Gubris Teriakan Warga, Pemotor Tewas Kecelakaan Tertabrak Kereta, Tubuhnya Terpental 20 Meter
Baca juga: Chord Kunci Gitar Rela Kau Tinggalkan Aku Difarina Indra ft Fendik Adella
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.