Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kronologi Tragedi Simpang KKA Aceh, Diakui Negara Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Tragedi Simpang KKA Aceh atau Simpang Kraft diakui negara sebagai tragedi pelanggaran HAM berat. Pada tanggal 3 Mei 1999, terjadi sebuah konflik

Penulis: Ardianti WS | Editor: galih permadi
kolase serambi.com dan kompas.com
Kronologi Tragedi Simpang KKA Aceh, Diakui Negara Sebagai Pelanggaran HAM Berat 

TRIBUNJATENG.COM- Tragedi Simpang KKA Aceh atau Simpang Kraft diakui negara sebagai tragedi pelanggaran HAM berat.

Pada tanggal 3 Mei 1999, terjadi sebuah konflik di Aceh yang disebut nama Tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft) atau yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh.

Tragedi Simpang KKA yang terjadi di Kecamatan Dewantara, Aceh, bermula dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI

Kala itu, aparat TNI menembaki para warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi tanggal 30 April 1999 di Cot Murong, Lhokseumawe.

Peristiwa tragedi Simpang KKA mengakibatkan 23 orang meninggal dunia dan 30 orang luka-luka.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Baca juga: Daftar 12 Peristiwa Masa Lalu yang Kini Diakui Presiden Joko Widodo Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, (11/1/2023).

“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.

Sebelumnya negara belum pernah mengakui adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Presiden sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat tersebut.

Kronologi Tragedi Simpang KKA Aceh

Kronologi Terjadinya tragedi Simpang KKA berawal dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudah 001/Pulo Rungkom pada tanggal 30 April 1999.

Anggota ini diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharam yang sedang diadakan oleh warga Desa Cot Murong.

Dugaan penyusupan anggota TNI ini diperkuat dengan kesaksian warga yang saat itu sedang mempersiapkan acara ceramah.

Pasukan Militer Detasemen Rudah menanggapi hilangnya anggota tersebut dengan melakukan operasi pencarian besar-besaran yang melibatkan berbagai satuan, termasuk Brimob.

Ketika aparat sedang melakukan penyisiran di Desa Cot Murong, mereka menangkap sekitar 20 orang dan melakukan berbagai aksi kekerasan.

Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam oleh aparat.

Menanggapi laporan tersebut, warga desa pun mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk melakukan negosiasi.

Setelah proses negosiasi selesai, komandan TNI berjanji bahwa aksi kekerasan ini tidak akan terulang lagi.

Namun, pada kenyataannya, janji tersebut tidak mereka tepati. Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diusir oleh warga setempat.

Kedatangan tentara ke Desa Cot Murong lantas membuat warga setempat merasa marah, karena janji mereka tidak ditepati. Alhasil, warga Desa Cot Murong melakukan aksi unjuk rasa untuk menuntut janji yang diberikan komandan TNI.

Pada siang hari, para pengunjuk rasa berhenti di persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang tempatnya berdekatan dengan markas Korem 011. Warga kemudian mengirimkan lima perwakilannya untuk berdiskusi bersama dengan komandan.

Sewaktu diskusi sedang berlangsung, tiba-tiba jumlah tentara yang mengepung warga semakin banyak.

Warga pun mulai melempari batu ke markas Korem 011 dan membakar dua sepeda motor di sana.

Setelah itu, dua truk tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dijaga oleh Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang. Mereka mulai menembaki kerumunan para pengunjuk rasa.

Dari peristiwa ini sedikitnya 46 warga sipil meninggal, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang. Tujuh dari korban tewas diidentifikasi masih anak-anak.

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved