LPS Prediksi Tren BPR Bangkrut di 2023 Masih Berlanjut
LPS mencatat selalu ada BPR yang bangkrut setiap tahun, bahkan sebelum-sebelum krisis covid.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat sekitar enam Bank Perkreditan rakyat (BPR) tercatat mengalami kebangkrutan setiap tahun.
Kondisi itu terjadi sejak kondisi perekonomian normal atau sebelum pandemi covid-19 melanda hingga saat ini.
"(Selalu ada-Red) BPR yang bangkrut rata-rata setiap tahun, dan bukan tahun ini saja, sebelum-sebelum krisis covid juga rata-rata itu kalau kami lihat enam BPR jatuh setiap tahun," kata Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam konferensi pers, akhir pekan lalu.
Menurut dia, penyebab banyaknya BPR di Indonesia yang gulung tikar bukan disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional. Namun, lantaran tata kelola bisnis bank yang kurang mumpuni. "Umumnya karena fraud di BPR tersebut," ujarnya.
Dengan melihat data historis tersebut, Purbaya menuturkan, pada 2023 diperkirakan akan ada sekitar enam sampai tujuh BPR yang bakal gulung tikar atau mengajukan kebangkrutan.
"Tapi sampai sekarang masih relatif minimum yang masuk ke kami. Ada beberapa, tapi dari size dan jumlah belum menunjukkan atau menunjukkan ada perburukan ekonomi," bebernya.
Walaupun banyak yang bangkrut, Purbaya menyatakan, LPS menilai ruang tumbuh BPR sebenarnya masih besar. Hal itu mengingat hingga kini masih banyak masyarakat atau pelaku usaha mikro yang terjerat jebakan rentenir.
Ia berujar, segmen masyarakat itulah yang bisa digarap oleh BPR. "Kita lihat rentenir masih menguasai ekonomi Indonesia, masih banyak sekali. Artinya, selama itu ada, maka BPR masih akan dibutuhkan," tandasnya.
Permodalan
Adapun, Kepala Kantor Regional 1 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jakarta dan Banten, Robert Akyuwen mengungkapkan, saat ini ada keinginan untuk mendorong konsolidasi BPR, menyusul adanya regulasi penguatan permodalan yang diwajibkan bagi para pelaku industri ini.
Dengan keinginan agar industri BPR itu menjadi kuat, ia menegaskan bahwa saat ini jika ada BPR ataupun BPR Syariah yang memiliki masalah, maka ada tahapan-tahapan pengawasan yang bisa berujung cabut izin usaha.
Bahkan, dia menambahkan, dengan adanya UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), proses pencabutan izin usaha BPR bisa menjadi lebih singkat.
“Kalau dulu ada tiga tahap, sekarang repot sedikit langsung bank dalam pengawasan, setelah itu langsung diserahkan ke LPS untuk diproses pencabutan usaha atau resolusi perbaikan,” jelasnya.
Robert menyebut, dengan ketentuan tersebut, jumlah BPR bisa terus berkurang ke depan. Sehingga, pengawasan bisa dilakukan dengan baik dan industri semakin kuat. “Di Jakarta saja harus mengawasi selapan sampai 11 BPR/S per orang, itu terlalu berat,” tuturnya.
Menurut dia, langkah konsolidasi tersebut dinilai menjadi satu-satunya pilihan agar BPR/S itu bisa terus berkembang, daripada tak bisa bersaing dan akhirnya justru bangkrut.
Co-Founder Hijra Bank, Dima A Djani bercerita, saat mengakuisisi sebuah BPR sebelum akhirnya menjadi Hijra Bank, BPR tersebut dimiliki oleh pemegang saham yang memiliki banyak bisnis, sehingga tidak fokus mengembangkan bisnis BPR-nya.
“Mungkin banyak BPRS atau BPR di luar sana yang mempunyai masalah serupa,” ujarnya. (Kompas.com/Rully R Ramli/Kontan/Adrianus Octaviano)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.