Berita Regional
Warga Desa Ini Harus Jalan 12 Km demi Akses Internet, Ada yang Tewas Diterkam Macan saat Cari Sinyal
Selama ini, warga yang ingin mengakses internet harus menempuh perjalanan mendaki bukit, sejauh 12 kilometer agar dapat menjangkau jaringan internet.
TRIBUNJATENG.COM, JAMBI - Indonesia sudah 78 tahun merdeka.
Namun, pembangunan jaringan internet di Indonesia masih belum merata.
Seperti di Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, yang terletak di daerah perbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Baca juga: 77 Tahun Tak Ada Sinyal Internet, Desa Silurah Batang Akhirnya Merdeka!
Warga desa tersebut belum merasakan kemudahan mendapatkan sinyal.
Sebanyak 535 orang di desa yang terletak di pinggir hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) itu belum bisa mengakses informasi di dunia maya dalam waktu yang cepat.
Selama ini, warga yang ingin mengakses internet harus menempuh perjalanan mendaki bukit, sejauh 12 kilometer agar dapat menjangkau jaringan internet.
Meski demikian, nama desa ini harum di mata dunia, karena berhasil menjaga kelestarian hutan adat Kara Jayo Tuo seluas 310 hektar.
Bahkan artis KPOP BTS, warga Norwegia, dan artis di tanah air telah mengasuh pohon di hutan adat, untuk membantu warga berdaya secara ekonomi.
Masyarakat sudah mengembangkan pengolahan kopi, dari biji ke bubuk dengan kemampuan produksi 300 kilogram per hari di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Kopi Serampas.
Potensi wisata selain hutan adat adalah air terjun dengan tinggi belasan meter, Danau Depati IV dengan panorama memukau, berkabut dan seolah di atas awan.
Untuk menjangkau desa ini bisa menggunakan mobil atau motor dengan jarak 10 jam dari Kota Jambi dan 3 jam dari Kota Bangko.
Berjuang dapatkan sinyal
Hidup tertinggal di daerah perbatasan membuat warga Desa Rantau Kermas terus berjuang untuk mendapatkan infrastruktur jaringan internet berupa Base Transceiver Station (BTS) atau tower sinyal.
Selain kehilangan peluang untuk menjual produk Kopi Serampas, karena tidak ada sinyal, mereka kesulitan memberikan kabar duka atau sakit ke kerabat yang jauh di perantauan.
"Kami harap pemerintah mendengar keluhan kami, yang mana sampai sekarang, belum ada sinyal.
Dan jaringan internet sangat kami butuhkan," kata Sekretaris Desa Yudi Irmawan saat berbincang dengan Kompas.com di rumahnya.
Sudah hampir 30 tahun mereka berjuang untuk mendapatkan sinyal.
Bahkan pengajuan tower sinyal kembali dilakukan sejak dua tahun lalu.
Menurut Yudi, respons pemerintah cukup baik.
Mereka langsung melakukan survei lokasi setelah pengajuan, namun sampai sekarang belum ada perkembangan.
"Kami berharap dibangun 1 BTS di desa kami, agar kami bisa mendapatkan sinyal," kata Yudi.
Desa berada di lembah dan dikelilingi hutan, sehingga sinyal dari tower terdekat tak mampu menembus ke desa.
Demi mendapatkan akses internet, warga harus mendak bukit dan berjalan lebih dulu sekitar 12 kilometer.
"Kalau di kebun ada sinyal.
Tapi semenjak ada peristiwa orang mati diterkam harimau saat mencari sinyal di Desa Air Batu, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, 2021 lalu, membuat orang-orang takut untuk mencari sinyal," kata Yudi.
Dengan adanya sinyal, warga yang banyak bertani kopi bisa memantau harga secara realtime.
Aparat desa dapat mempromosikan potensi desa ke luar, tidak hanya potensi ekonomi namun juga wisata dan budaya.
Datuk Ibrahim, selaku tetua di desa juga berharap sinyal ada di dalam kampung. S
Untuk mencicipi manisnya listrik, warga harus berjuang sendiri membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).
"Alhamdulillah. PLTMH sudah ada sejak 2018 lalu.
Kami baru merasakan listrik selama 24 jam itu, baru beberapa tahun belakangan," kata Ibrahim.
Kesulitan kalau tidak ada sinyal, memang dirasakan saat peristiwa kemalangan atau ada yang sakit.
"Dulu kalau kita mau kasih kabar ada kematian atau ada keluarga yang sakit parah itu, jalan kaki menembus hutan," kata Ibrahim.
Jalan mulus ini juga baru berapa tahun belakangan, sebelumnya itu jalannya kecil dan rusak.
Rini Andini, Pengelola BUMDes mengeluhkan sinyal yang membuat penjualan kopi tak bisa maksimal.
Sebelum pandemi bubuk Kopi Serampas milik desa bisa terjual sampai 3 ton, sekarang hanya terjual 300 kilogram dalam sebulan.
"Ya pernah ada konsumen pesan kopi 1 ton. Karena sinyal tidak ada, kita buka pesan itu 4 hari kemudian. Maka dia batalkan pesanan," kata Rini.
Dengan adanya sinyal, maka BUMDes dapat menjual kopinya secara daring dan promosi dapat menjangkau orang secara luas.
Selama ini petani lebih mengandalkan penjualan melalui secara konvensional, mulut ke mulut. Terkadang juga pemuda desa berangkat ke luar desa sambil membawa contoh kopi untuk dipasarkan di minimarket dan sejumlah lapak.
Padahal Kopi Serampas memiliki keunikan yakni memiliki rasa sedikit asam, manis dan ada rasa coklat. Bahkan baunya mengandung aroma kayu manis.
Kesulitan warga mendapatkan sinyal, karena pemerintah belum serius menampang aspirasi masyarakat di akar rumput.
Bahkan program 1.000 tower internet gratis Gubernur Jambi Al Haris belum pernag singgah di desa yang berada di perbatasan tersebut. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Desa di Perbatasan Bengkulu-Jambi, Warga Harus Jalan 12 Km demi Dapat Sinyal"
Baca juga: Wujudkan Merdeka Sinyal, Diskominfo Batang Entaskan Wilayah Blank Spot Internet di 33 Desa
| 36 Pendaki Kena Sanksi, Kenapa Gede Pangrango Begitu Menggoda? Ini Ketinggian dan Jalur Resminya |
|
|---|
| Terjebak di Tengah Tawuran, Pencari Nasi Sisa Dibacok hingga Tewas |
|
|---|
| Perbandingan Jarak Kereta Cepat Whoosh 150Km vs Land Bridge Arab Saudi 1.500Km, Tapi Anggaran Sama? |
|
|---|
| Isuzu Festival 2025 Manjakan Pelanggan dengan Cashback dan Paket Ekstra Purna Jual |
|
|---|
| Sebelum Live Gantung Diri di TikTok, Pria Penuh Tato Asal Semarang Terlihat Minum Arak Sendirian |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.