Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Harga Terus Naik, BPS Ingatkan Potensi Defisit Beras hingga Akhir Tahun

Defisit produksi beras akan makin melebar pada November 2023 menjadi 0,95 juta ton, dan pada Desember 2023 hingga 1,45 juta ton.

Editor: Vito
Dina Indriani
Pedagang Pasar Batang saat melayani pembeli beras di kiosnya. 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Pemerintah diingatkan untuk mewaspadai potensi kekurangan atau defisit produksi beras nasional pada kuartal IV/2023. Hal itu diungkapkan Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar.

Menurut dia, defisit beras dapat terjadi karena adanya penurunan luas panen dan produksi seiring dengan fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau panjang, dan mengganggu panen maupun produksi beras di Indonesia.

"Bahkan sebenarnya dari Agustus 2023 sudah terlihat. Sehingga, akan ada defisit beras hingga Desember 2023," katanya, dalam konferensi pers, Senin (16/10).

Dari hasil perhitungan BPS dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA), potensi defisit beras pada Oktober 2023 sebesar 0,5 juta ton beras.

Defisit produksi beras akan makin melebar pada November 2023 menjadi 0,95 juta ton beras, dan pada Desember 2023 diyakini akan terjadi defisit produksi hingga 1,45 juta ton beras.

Meski demikian, Amalia menuturkan, hasil KSA Padi di sepanjang 2023 menunjukkan tetap adanya potensi surplus sebanyak 0,28 juta ton beras.

Namun, surplus ini lebih rendah dibandingkan dengan surplus produksi beras sepanjang 2022 lalu sebesar 1,34 juta ton beras.

Ia berujar, estimasi surplus dan produksi beras itu merupakan selisih antara perkiraan propduksi dan konsumsi setiap bulan.

Estimasi surplus maupun defisit beras itu tdiak termasuk stok maupun suplai beras impor pada periode yang dihitung. "Ini adalah hasil selisih antara produksi domestik dengan konsumsi domestik," jelasnya.

Amalia menyatakan, tren peningkatan harga beras telah terjadi sejak lama. Berdasarkan catatannya, terdapat sekitar 280 kabupaten/kota yang mengalami peningkatan harga beras.

Diketahui, mengutip data per September 2023, harga beras di tingkat konsumen secara bulanan (month to month/mtm) mengalami peningkatan 5,61 persen.

Rata-rata harga beras di tingkat eceran pada Agustus 2023 senilai Rp 13.058/kg, sedangkan pada September 2023 naik menjadi Rp 13.799/kg.

Inflasi beras secara bulan ke bulan merupakan tertinggi sejak Februari 2018. Bahkan, jika dilihat secara tahun ke tahun alias year on year (yoy), inflasi harga beras meroket sangat tinggi, yakni 18,44 persen.

"Mengenai perkembangan harga beras di mana harga beras mengalami peningkatan terus. Yang jelas harga beras dalam tren terus meningkat, kemudian rata-rata harga beras mengalami disparitas yang semakin tinggi, di mana paling tinggi adalah Papua," jelasnya.

Mungkin untuk minggu ini ada infromasi bahwa ada tiga komoditas yang jadi perhatian, yakni gula pasir, beras, dan cabai rawit," sambungnya.

Gabah mahal

Pengamat ekonomi, Gunawan Benjamin mengatakan, meski harga beras saat ini terpantau mulai stabil, ancaman kenaikannya masih begitu terasa.

Hal itu lantaran harga gabah di tingkat petani saat musim panen yang baru saja usai di bulan kemarin masih tergolong mahal, yaitu di kisaran angka Rp 5.800-Rp 6.300 per kg untuk gabah kering panen.

"Jadi sekalipun memasuki musim panen, harga gabah masih 20 persen lebih mahal dari HPP yaitu Rp 5 ribu/kg, dan harga beras medium wajar berada di kisaran Rp 12 ribu-Rp 13 ribu per kg. Jadi sebuah keniscayaan dalam jangka pendek harga beras bisa ditekan untuk mengimbangi harga beras SPHP," tuturnya

Gunawan mengungkapkan, hal yang patut dikhawatirkan adalah intensifikasi lahan sawah sebagai bentuk pemaksaan, dan memunculkan potensi resistensi petani.

Sawah yang ditanami padi secara terus menerus tanpa jeda justru dapat membuat produktifitas tanaman padi menurun.

"Pada praktiknya, banyak petani yang memanfaatkan sawahnya untuk bercocok tanam dengan masa 3 kali panen. Namun di saat sudah dua kali panen tanaman padi, petani banyak yang mengganti tanamannya ke tanaman lain, umumnya kacang hijau atau kedelai," tuturnya.

"Hal tersebut dilakukan untuk menyuburkan tanah, memutus siklus serangan hama, dan mengurangi ketergantungan pupuk kimia pada tanaman padi selanjutnya," tambahnya.

Ketiga, biaya produksi yang diakibatkan oleh mahalnya harga pupuk, alokasi pupuk bersubsidi yang berkurang, kenaikan harga pestisida, ditambah dengan gangguan cuaca el nino yang masih terjadi bakal memicu harga beras kembali melonjak.

"Sehingga sulit buat kita untuk menggenjot produksi tanaman padi dalam waktu dekat. Pemerintah bisa melakukan upaya untuk menghitung ekspektasi produksi," bebernya.

"Dan rencana pemerintah yang mengimpor beras dari China menunjukan ada kekhawatiran bahwa pasokan padi belum akan pulih dalam waktu dekat," sambungnya

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan Gunawan dengan petani di Sumut, banyak petani yang pesimistis bahwa panen akan mampu lebih tinggi dari sebelumnya pada musim panen mendatang, yaitu Januari hingga Februari.

"Karena sawah memasuki musim tanam kedua untuk padi di bulan oktober ini. Produksi gabah sejumlah petani yang diobservasi diproyeksi baru akan meningkat tajam pada musim panen semester 2 tahun depan," terangnya. (Tribunnews/Seno Tri Sulistiyono)

Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved