Singgih Januratmoko
Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan, Singgih Januratmoko: Jadikan Ramadan Momentum Introspeksi Demokrasi
Pemilu sebagai prosedur pelaksanaan demokrasi, makin menunjukkan mekanisme pasar antara penawaran dan permintaan.
TRIBUNJATENG.COM, KLATEN -- Pemilu sebagai prosedur pelaksanaan demokrasi, makin menunjukkan mekanisme pasar antara penawaran dan permintaan.
Bukan lagi mencerminkan suara rakyat sebagai suara Tuhan, bahkan kian bening menunjukkan mahalnya biaya demokrasi di Indonesia.
“Pancasila bukan sekadar ideologi negara tapi sila-silanya merupakan way of life, cara hidup bangsa Indonesia, hingga bagaimana berbangsa dan bernegara.
Demokrasi kita hari ini makin jauh dari nilai-nilai Pancasila,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI, Singgih Januratmoko saat sosialisasi “Empat Pilar Kebangsaan” di Klaten, Jawa Tengah (11/3).
Demokrasi di Indonesia makin liberal, karena suara pemilih menjadi komoditas. Praktik seperti ini, jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Meskipun demokrasi tertuang dalam sila keempat yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, namun sila-sila lainnya menjadi jiwa demokrasi.
Ia memisalkan, seharusnya pemimpin bangsa ataupun wakil rakyat yang dipiliih, merupakan simbol keterwakilan bukan keterpilihan.
Menurutnya, keterwakilan tersebut menunjukkan calon pemimpin atau calon wakil rakyat dikenal memiliki integritas sebagai tokoh, sekaligus telah menunjukkan kerja nyata. Bukan sekadar popularitas,
“Popularitas atau kepopuleran bisa dibangun dengan baliho, media sosial, bahkan media massa. Atau artis mungkin saja sangat populer. Tapi mungkinkah mereka merupakan simbol keterwakilan,” kata Singgih.
Akibatnya, untuk menyaingi keterwakilan itu, elit politik yang mengikuti kontestasi mencoba untuk dipilih.
Mulanya mereka membeli suara dengan beragam modus, yang diikuti oleh kontestan lain. Akibatnya, masyarakat terpola memberikan suaranya untuk yang memberi paling banyak,
“Prosedur demokrasi yang awalnya untuk memilih wakil rakyat, berubah menjadi keterpilihan. Mereka terpilih tapi tidak mewakili karena proses transaksi. Setelah membeli suara semuanya selesai,” keluh Ketua Umum DPP Perhimpunan Insan Perunggasan Indonesia (PINSAR) itu.
Situasi ini mendorong tingginya harga suara dari tahun ke tahun. Akibatnya, mereka yang memiliki kekuatan uang yang besar, itulah yang menang.
Para elite politik pada akhirnya mengeluhkan biaya politik yang mahal ini. Keterwakilan menjadi keterpilihan yang tidak diimbangi dengan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
“Akhirnya suara jadi komoditas. Masyarakat hanya jadi objek mencari suara bukan untuk mengumpulkan aspirasi. Bila hal ini terjadi terus-menerus demokrasi tidak menunjukkan perbaikan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Singgih.
Golkar DIY Fokus Konsolidasi, Tak Terganggu Isu Munaslub untuk Gantikan Bahlil Lahadalia |
![]() |
---|
Potensi Ekonomi Syariah Ribuan Triliun, Singgih Januratmoko Dorong UMKM Sertifikasi Halal Produknya |
![]() |
---|
Jamaah Haji Tidak Dapat Makanan, Komisi VIII Ingatkan BPKH Audit BPKH Limited |
![]() |
---|
Asosiasi Peternak Temui BGN Berdayakan Peternak untuk Program Makan Bergizi Gratis |
![]() |
---|
Singgih Januratmoko Ingatkan Pererat Kesatuan Bangsa dalam Hadapi Krisis Global |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.