Akademisi Kritisi Demokrasi, Seruan Salemba Soroti Penyalahgunaan Kekuasaan
Akademisi menyerukan reformasi hukum yang transparan dan akuntabel, khususnya atas produk UU terkait dengan politik dan pemilu
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Dugaan terhadap kecurangan pemilu 2024 terus disuarakan berbagai pihak.
Belakangan, kalangan akademisi kembali gencar menyerukan upaya perbaikan terhadap demokrasi di Indonesia.
Terbaru, muncul Seruan Salemba yang dibacakan oleh para akademisi berbagai kampus dalam acara bertajuk "Universitas Memanggil", yang digelar di Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Kamis (14/3).
Satu seruan itu yakni meminta DPR segera menyelidiki dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif selama masa pemilu.
"Mendukung parlemen (DPR RI) untuk segera bekerja menjalankan fungsi-fungsi menyuarakan suara rakyat, melakukan penyelidikan secara terbuka terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan eksekutif agar dapat dipertanggungjawabkan," kata akademisi UNJ, Ubedillah Badrun, dikutip dari Kompas.com.
Ia juga menyerukan agar ada reformasi hukum yang transparan dan akuntabel, khususnya atas produk perundang-undangan terkait dengan politik dan pemilu, maupun peraturan dan perundangan lain yang berdampak pada hidup orang banyak.
"Serta tidak lagi merumuskan hukum yang substansinya mengabaikan kedaulatan rakyat, dan hanya mengutamakan kepentingan segelintir orang saja," ujarnya.
Guru Besar UI, Sulistyowati Irianto mengatakan, konstitusi mewajibkan presiden untuk mematuhi hukum dan kemandirian peradilan.
"Dalam praktiknya, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dengan rekayasa hukum yang semakin meruntuhkan demokrasi," ucapnya.
Ia menyebut, perubahan beragam aturan dan kebijakan menyebabkan melemahnya pemberantasan korupsi dan merugikan hak rakyat, dari bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hingga mineral dan pertambangan.
"Yang berakibat tersingkirnya masyarakat adat, hutan, dan kepunahan keanekaragaman hayati sebagai sumber pengetahuan, pangan, dan obat-obatan," jelas Sulis.
Para akademisi pun mengkiritik kebijakan bantuan sosial (bansos) pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap sebagai bentuk politik gentong babi atau pork barrel politics.
Kritik itu merupakan satu poin penilaian akademik atas situasi nasional dan implikasi luasnya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
"Instrumentalisasi bantuan sosial (pork barrel politics) dengan alasan menopang rakyat miskin tampak seperti pembiaran terhadap kemiskinan," kata Guru Besar UI, Valina Singka Subekti.
Para akademisi berpandangan, kebijakan pemerintah dalam menghapus kemiskinan seharusnya dilakukan dengan memperluas lapangan kerja di segala bidang, bukan sebatas memberikan bansos.
Selain itu, pemerintah semestinya juga meningkatkan kapasitas penduduk usia muda dengan memberi akses pendidikan setinggi-tingginya.
"(Agar) memiliki inovasi untuk menghasilkan produk sains, teknologi, kesenian dan beragam produk budaya," jelas Valina. (Tribunnews/Erik S/Kompas.com/Ardito Ramadhan)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.