Artikel Ilmiah Populer
Gerakan Perubahan Terburu-buru, Peserta Didik Tak Lagi Berguru
Dunia pendidikan Indonesia saat ini tengah dilanda polemik yang cukup besar, terutama bagi para tenaga pendidik.
TRIBUNJATENG.COM - Dunia pendidikan Indonesia saat ini tengah dilanda polemik yang cukup besar, terutama bagi para tenaga pendidik. Pasalnya, keadaan pasca-pandemi Covid-19 memaksa para pelaku utama dunia pendidikan untuk melakukan suatu gerakan perubahan yang cukup masif. Di sisi lain, para penggerak pendidikan yang ada di Indonesia terkesan belum siap terhadap perubahan yang akan mereka wujudkan sendiri.

Dari sekian banyak problematika yang bermunculan, tak bisa dipungkiri lagi bahwa pergantian kurikulum menjadi salah satu faktor terbesar. Dilansir dari ditpsd.kemdikbud.go.id (2022), Kurikulum Merdeka yang diluncurkan secara daring oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim pada tanggal 11 Februari 2022 silam bisa dibilang menjadi langkah awal dalam mewujudkan perubahan dunia pendidikan Indonesia pasca-pandemi Covid-19. Keterbatasan akses untuk bertatap muka dan mengadakan kegiatan belajar mengajar di kelas secara langsung menurunkan efektivitas pembelajaran secara drastis. Penurunan kualitas belajar yang signifikan ini dikenal dengan istilah learning loss, fenomena yang kemudian melatar belakangi peluncuran Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum darurat. Kurikulum yang diproyeksikan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024 ini dinilai lebih ringkas, sederhana, dan fleksibel sehingga memudahkan peserta didik dalam memahami materi-materi esensial yang membuat proses pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan juga bermakna.
Salah satu hal yang menjadi fokus pada penerapan Kurikulum Merdeka adalah konsep pembelajaran berpusat pada peserta didik (Student-Centered Learning) dan pembelajaran terdiferensiasi (kemdikbud.go.id, 2022). Dua hal ini juga yang menjadi pembeda antara Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013 dan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Lantas sebenarnya apa yang dimaksud dengan metode pendekatan Student Centered Learning (SCL) ini?
SCL pada hakikatnya adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kebutuhan peserta didik dan keaktifan peserta didik dalam belajar. Pendekatan pembelajaran ini berpandangan bahwa peserta didik memiliki karakteristik, minat, dan cara belajar yang berbeda-beda sehingga pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi untuk mengakomodir perbedaan-perbedaan tersebut. Selain itu, metode bimbingan juga memainkan peran penting dalam pendekatan ini guna menggali kebutuhan dan minat peserta didik. Di sisi lain, peserta didik juga harus aktif dalam mengeksplorasi apa yang perlu untuk dipelajari melalui pengalaman belajar yang kontekstual agar peserta didik terdorong untuk menjadi lebih mandiri, inovatif, serta mampu berpikir kritis. Pembelajaran terdiferensiasi merupakan manifestasi dari pendekatan SCL ini yang dirancang dengan memperhatikan kesiapan belajar, minat belajar, dan cara belajar peserta didik. Dengan menempatkan peserta didik sebagai prioritas utama pembelajaran, diharapkan dapat tercipta pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Namun, di balik ide cemerlang mengenai konsep SCL dan pembelajaran terdiferensiasi ini terdapat berbagai permasalahan baik berupa miskonsepsi, penyimpangan, dan juga hambatan yang dapat ditemukan di lapangan.
Miskonsepsi yang sering dijumpai terletak pada anggapan bahwa konsep ini menghilangkan standar kompetensi peserta didik yang telah ditetapkan sebelumnya. Banyak tenaga pendidik yang beranggapan bahwa pada konsep ini para peserta didik memiliki kebebasan, kewenangan, dan tanggung jawab penuh terhadap capaian pembelajaran mereka sendiri. Banyak dari tenaga pendidik yang datang ke kelas hanya untuk memberikan projek dan tugas kepada peserta didiknya tanpa terlibat secara aktif dalam mengawasi berjalannya kegiatan pembelajaran peserta didik. Memang, sebagaimana tujuan SCL adalah menanamkan prinsip kemandirian belajar, namun menanamkan kemandirian belajar pada peserta didik tak semudah membalikkan telapak tangan. Tenaga pendidik harus memahami betul kapan Ia mesti memberikan atensi, memberikan arahan, dan juga membebaskan peserta didiknya bereksplorasi sehingga kegiatan pembelajaran dapat berlangsung secara proporsional. Tanpa arahan dan porsi yang tepat, dapat dipastikan peserta didik justru akan merasa kebingungan pada kegiatan pembelajaran yang tengah berlangsung. Bagaimanapun, peserta didik tetaplah pribadi yang sangat memerlukan arahan konkrit. Kekeliruan ini kemudian justru menjadikan konsep SCL dan pembelajaran terdiferensiasi sebagai konsep pendekatan yang chaos. Meski terkesan remeh, miskonsepsi ini harus tetap diperhatikan dan diluruskan agar tidak menjadi sebuah kesalahpahaman publik. Bagaimana mungkin ide ini dapat terealisasikan secara baik ketika tenaga pendidik masih keliru dalam memahaminya dan masih belum mampu dalam mensosialisasikan serta menerapkannya kepada peserta didik mereka sendiri?
Hal selanjutnya yang menjadi masalah dalam aplikasi metode pembelajaran ini terletak pada kesiapan tenaga pendidik dan peserta didik. Dalam praktiknya, metode pendekatan SCL ini banyak menerapkan kegiatan berkelompok untuk melibatkan peserta didik supaya berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas dengan tujuan menanamkan nilai kooperatif melalui kolaborasi yang terbuka. Namun, melakukan pembelajaran terdiferensiasi dengan berpusat pada peserta didik akan menjadi tantangan baru bagi seorang tenaga pendidik apalagi dalam hal pengelolaan kegiatan pembelajaran berkelompok. Tak bisa dipungkiri, dalam penerapan metode SCL diperlukan kemampuan penguasaan dan pengelolaan disiplin kelas yang ekstra. Sebagai seorang fasilitator, seorang guru harus mampu memfasilitasi perbedaan minat, cara belajar, dan cara berpikir peserta didik-peserta didiknya dengan tetap mengarahkan mereka pada capaian pembelajaran yang telah ditentukan. Di sisi lain, kesiapan peserta didik untuk menjadi pebelajar yang aktif juga perlu menjadi perhatian. Peserta didik yang selama ini terbiasa menerima materi pembelajaran dari guru akan merasa kaget ketika guru merubah metodenya menjadi siswa yang lebih aktif dalam pembelajaran seperti melalui metode pembelajaran berbasis proyek atau berbasis masalah. Kesadaran peserta didik untuk aktif belajar secara mandiri masih sangat perlu ditingkatkan. Hal ini tentunya membutuhkan proses penyesuaian, diperlukan pembiasaan dan motivasi berkelanjutan agar peserta didik memiliki tanggung jawab kemandirian dalam belajar.
Selain itu, instrumen penilaian yang digunakan juga perlu dievaluasi. Penilaian yang berorientasi pada hasil tidak lagi relevan dengan pendekatan pembelajaran SCL dan terdiferensiasi ini. Jika pendidik menyadari bahwa setiap peserta didik itu unik dan memiliki potensi masing-masing, maka instrumen penilaian perlu dibuat menyeluruh, tidak hanya berfokus pada akademik atau hasil belajar saja tetapi juga keterampilan kognitif, emosional, sosial, fisik, serta kompetensi dan perkembangan lainnya. Kedua hal ini tentunya bukan hal yang mudah, sehingga implementasi yang terburu-buru hanya akan menambah benang kusut pendidikan di negara kita.
Masalah lain yang menambah chaos dalam pendidikan di Indonesia adalah pemberlakuan e-kinerja guru pada Platform Merdeka Mengajar yang seakan-akan menambah beban kerja guru dan di saat yang bersamaan seolah-olah mengalihkan fokus guru dari tanggung jawab mereka untuk mengajar dan mendidik peserta didiknya dengan dalih kemandirian belajar. Masyarakat pun mulai beranggapan bahwa guru di jaman sekarang justru lebih berfokus untuk mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat guna melengkapi persyaratan administrasi ketimbang mendidik peserta didiknya di dalam kelas. Bahkan saat ini muncul stigma bahwa grup WhatsApp guru telah bertransformasi menjadi lapak pelatihan dan sertifikasi. Padahal jika berbicara mengenai transformasi sistem pendidikan, negara-negara maju, seperti Finlandia misalnya, justru membebaskan tenaga pendidik dari beban administrasi yang dapat mengganggu kualitas layanan pengajaran mereka. Memang terlalu jauh jika kita membandingkan pendidikan di negara kita dengan negara yang menyandang predikat negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita menilik sistem pendidikan di negara tersebut sebagai rujukan kita dalam melakukan refleksi diri agar kita bisa terus memperbaiki diri dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial dan potensi negara kita.
Meski digadang-gadang sebagai titik balik transformasi pendidikan, penerapan Kurikulum Merdeka masih tetap memiliki sejumlah masalah dan kekurangan yang mesti dievaluasi. Ketidakmampuan guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan unik peserta didik serta kekurangan dukungan dan sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan pendekatan ini secara efektif adalah hal yang penting untuk selalu ditekankan. Untuk mengatasi masalah ini, guru harus diberi pelatihan dan sumber daya yang lebih baik dalam strategi diferensiasi dan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Tenaga pendidik juga harus selalu ingat akan hakikatnya sebagai penggerak utama, bukan justru beralih peran menjadi pengamat di bangku penonton. Pengembangan kurikulum yang lebih fleksibel dan terbuka juga diperlukan untuk memungkinkan adaptasi yang lebih baik terhadap kebutuhan unik peserta didik. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dapat diterapkan sebagaimana mestinya.
Gerakan Mahasiswa Peduli Sampah |
![]() |
---|
Smart Invest, Smart Work: Strategi Human Capital Untuk Boost Produktivitas Gen Z |
![]() |
---|
OPINI Tri Pujiani : Pentingnya Literasi di Era Digital: Antara Mitos, Ideologi, dan Perdebatan |
![]() |
---|
Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS pada Usia Remaja Bersama Karang Taruna ORRTEMA Desa Pedalangan |
![]() |
---|
UHB dan Udinus Semarang lestarikan budaya Seni Tari Lengger Lanang dan Wayang Gagrag Banyumas |
![]() |
---|