Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Yusril Ihza Mahendra: Pencabutan Nama Soeharto dari TAP MPR Adalah Langkah Penting

Yusril sebut pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR penting untuk menghargai pemimpin masa lalu, buka peluang gelar pahlawan nasional.

tribunnews
mantan Presiden Soeharto 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pencabutan nama Presiden ke-2 Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 merupakan keputusan penting yang berkaitan dengan pelestarian sejarah dan penghargaan terhadap pemimpin di masa lalu. TAP MPR No. 11 Tahun 1998 berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Yusril menyebutkan, langkah ini adalah bentuk penghormatan kepada Soeharto sebagai pemimpin yang harus dipahami dalam konteks zamannya.

"Memang ini suatu keputusan penting untuk bangsa dan negara kita. Sebab kita ini menghargai para pemimpin kita di masa lalu. Karena pemimpin itu harus kita tempatkan pada konteks zamannya. Kita tidak bisa menilai masa yang lalu dengan masa kini," ujar Yusril dalam acara yang berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta, Jumat (27/9/2024) malam.

Menurut Yusril, keputusan ini membuka peluang besar bagi Presiden saat ini untuk memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia menyebut bahwa upaya untuk memberikan penghargaan kepada Soeharto dapat memperbaiki pandangan publik terhadap peran penting yang dimainkan oleh mantan Presiden ini dalam sejarah bangsa.

Yusril juga mengingatkan pentingnya perlakuan serupa terhadap Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nama Gus Dur sebelumnya juga dicabut dari TAP MPR. Yusril mengatakan, MPR menyatakan bahwa TAP terkait Gus Dur sudah selesai, sama halnya dengan TAP yang menyebutkan nama Soeharto. Dengan demikian, ini menjadi momentum untuk memberi penghargaan yang layak kepada kedua mantan Presiden tersebut.

"MPR itu hanya menyatakan bahwa TAP terkait dengan Gus Dur itu sudah selesai. TAP terkait dengan Pak Harto malah sudah dilaksanakan. Bahkan disebutkan secara tegas Pak Harto kan, dalam rangka pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, disebutkan itu mengambil suatu langkah hukum terhadap Pak Harto, keluarga, dan kroni-kroninya itu yang disebut. Terhadap Pak Harto-nya sendiri itu sudah selesai," jelas Yusril.

Yusril juga menyatakan dirinya adalah saksi sejarah terkait penanganan hukum terhadap Soeharto, karena pada saat ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman, ia memimpin hakim-hakim yang masih berada di bawah kewenangannya. Saat itu, Soeharto memang tidak bisa diadili karena berbagai alasan, terutama kondisi kesehatannya yang memburuk.

"Dan saya merupakan saksi sejarah tentang hal itu. Karena pada waktu saya jadi Menteri Kehakiman, hakim-hakim itu masih di bawah saya pada waktu itu. Pak Harto tapi tidak bisa diadili. Dan ketika saya jadi Mensesneg, saya bertemu Pak Harto di RS Pertamina pada waktu itu. Dan Pak Harto berbicara pribadi dengan saya, mengenai status beliau yang sampai saat itu masih terdakwa," tambah Yusril.

Ia kemudian menjelaskan bahwa setelah mendengar langsung keluhan pribadi Soeharto terkait statusnya, ia mengambil langkah untuk membahasnya dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Berdasarkan diskusi tersebut, pemerintah pada masa SBY akhirnya memutuskan untuk menghentikan proses penuntutan terhadap Soeharto, dengan alasan bahwa secara hukum pidana, penuntutan terhadap seseorang yang sudah meninggal dunia tidak mungkin dilakukan.

"Pemerintah ambil keputusan untuk menghentikan penuntutan terhadap Pak Harto karena beliau memang tidak bisa diadili," kata Yusril. "Jadi sebenarnya TAP MPR itu sendiri memang betul sudah dilaksanakan. Apalagi beliau sudah berpulang, sudah tidak ada lagi. Secara pidana kan tidak mungkin menuntut orang yang sudah meninggal," imbuhnya.

Sebelumnya, pada Rabu (25/9/2024), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) Nomor 11 Tahun 1998. Keputusan tersebut diambil dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024 yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menjelaskan bahwa pencabutan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 adalah tindak lanjut dari permintaan Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) di MPR.

Permintaan pencabutan nama Soeharto ini pertama kali diajukan oleh Fraksi Golkar dalam surat tertanggal 18 September 2024. Keputusan tersebut kemudian disetujui dalam rapat gabungan MPR pada 23 September 2024. Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan bahwa meskipun nama Soeharto dicabut dari TAP MPR, ketetapan tersebut masih berlaku secara yuridis.

"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut, secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” jelas Bamsoet.

Meskipun demikian, Bamsoet menekankan bahwa TAP MPR masih berlaku sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor I Tahun 2003. Ia juga menegaskan bahwa proses hukum terhadap Soeharto sesuai dengan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR/1998 dianggap telah selesai, karena Soeharto telah meninggal dunia pada tahun 2008. Dengan demikian, proses hukum terhadap Soeharto tidak dapat dilanjutkan karena hukum pidana tidak memperbolehkan penuntutan terhadap seseorang yang sudah wafat.

Keputusan pencabutan nama Soeharto ini dinilai sebagai langkah simbolis untuk menutup babak panjang dalam sejarah hukum terkait mantan Presiden ke-2 Indonesia tersebut. Namun, Bamsoet menegaskan bahwa TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tetap berlaku untuk menjaga integritas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, bebas dari KKN, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. (*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved