Artikel Ilmiah Populer
OPINI Tri Pujiani : Pentingnya Literasi di Era Digital: Antara Mitos, Ideologi, dan Perdebatan
Di era digital yang dipenuhi informasi melimpah, literasi sering kali dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan kualitas hidup dan memajukan masyaraka
Oleh: Tri Pujiani, M.Pd
S3 Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Semarang
TRIBUNJATENG.COM -- Di era digital yang dipenuhi informasi melimpah, literasi sering kali dianggap sebagai kunci untuk meningkatkan kualitas hidup dan memajukan masyarakat.
Namun, apakah literasi benar-benar membawa dampak yang dijanjikan? Dalam banyak hal, literasi dipandang sebagai solusi universal untuk mengatasi berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik.
Perspektif ini dikenal sebagai literacy myth, yang menyiratkan bahwa kemampuan membaca dan menulis secara otomatis menciptakan perubahan positif.
Pada saat yang sama, konsep ideological literacy menantang pandangan tersebut dengan menekankan bahwa literasi tidak pernah netral; ia selalu terkait dengan ideologi dan kekuasaan.
Sementara itu, perdebatan panjang dalam reading wars—antara pendekatan phonic reading dan whole language instruction—menggambarkan bagaimana cara kita mengajarkan literasi menjadi bagian penting dari diskusi ini.
Artikel ini mengeksplorasi tiga pandangan tersebut untuk memahami bagaimana literasi dipelajari dan diterapkan di tengah tantangan masyarakat modern.
Literacy myth berakar pada keyakinan bahwa kemampuan membaca dan menulis adalah solusi ajaib untuk masalah sosial.
Di Indonesia, mitos ini sering terlihat dalam program-program pemerintah yang menjadikan literasi sebagai bagian dari agenda pembangunan. Kampanye seperti "Gerakan Literasi Nasional" mendorong masyarakat untuk membaca lebih banyak buku dengan harapan bahwa literasi akan meningkatkan daya saing ekonomi, mendorong kesetaraan sosial, dan mengurangi kemiskinan.
Namun, apakah literasi benar-benar dapat mewujudkan janji-janji tersebut? Dalam kenyataannya, literasi hanyalah alat, bukan solusi tunggal.
Kemampuan membaca tidak serta-merta mengubah kondisi sosial-ekonomi seseorang jika tidak diiringi dengan akses pendidikan yang memadai, peluang kerja, dan sistem pendukung lainnya.
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis tetapi tinggal di daerah terpencil tanpa akses terhadap informasi yang relevan atau peluang kerja tetap menghadapi kesulitan yang sama seperti mereka yang tidak memiliki literasi.
Oleh karena itu, penting untuk memahami literasi dalam konteks yang lebih luas, termasuk struktur sosial dan ekonomi yang memengaruhi efektivitasnya.
Berbeda dari pandangan literacy myth, konsep ideological literacy menekankan bahwa literasi bukanlah aktivitas netral. Literasi selalu terikat pada ideologi, nilai-nilai, dan kekuasaan tertentu.
Dalam konteks ini, pengajaran dan penerapan literasi sering kali digunakan untuk mempertahankan atau menantang status quo. Sebagai contoh, sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, cenderung mempromosikan literasi yang sesuai dengan ideologi dominan, seperti nasionalisme atau modernisasi. Sementara itu, perspektif alternatif—misalnya literasi yang berfokus pada keadilan sosial atau pemberdayaan masyarakat marginal—sering kali diabaikan.
Hal ini terlihat dalam kurikulum pendidikan yang menekankan pada teks-teks tertentu yang dianggap "resmi" atau "bernilai tinggi," tetapi mengabaikan cerita atau pengalaman masyarakat adat, komunitas minoritas, atau perempuan.
Literasi, dalam hal ini, menjadi alat untuk menyampaikan narasi tunggal yang menguntungkan kelompok tertentu.
Untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar melek literasi, kita perlu memperluas pendekatan ini dengan memasukkan perspektif yang lebih beragam dan mendorong pemikiran kritis terhadap teks dan konteks sosialnya.
Di tengah harapan dan ideologi yang melingkupi literasi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana cara terbaik untuk mengajarkan membaca?
Reading wars, yang memperdebatkan antara pendekatan phonic reading dan whole language instruction, mencerminkan ketegangan ini. Pendukung phonic reading berargumen bahwa pembelajaran membaca harus dimulai dari dasar, yaitu memahami hubungan antara huruf dan bunyi.
Pendekatan ini efektif untuk membantu anak-anak mempelajari keterampilan dasar membaca, terutama bagi mereka yang memiliki kesulitan belajar. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena terlalu mekanis dan kurang memberikan konteks atau makna.
Sebaliknya, pendukung whole language instruction berfokus pada pengajaran membaca melalui teks yang bermakna dan menarik. Pendekatan ini menekankan bahwa membaca adalah pengalaman holistik yang melibatkan pemahaman konteks dan makna, bukan sekadar decoding huruf.
Namun, kritik terhadap pendekatan ini adalah kurangnya penekanan pada keterampilan dasar membaca, yang dapat membuat anak-anak kesulitan memahami struktur dasar bahasa.
Dalam praktiknya, penelitian menunjukkan bahwa pendekatan yang seimbang (balanced literacy)—menggabungkan kekuatan phonics dengan whole language—sering kali lebih efektif. Ini mencerminkan kebutuhan untuk memahami literasi sebagai keterampilan teknis sekaligus proses sosial, di mana kemampuan membaca dasar harus diimbangi dengan pemahaman kritis dan apresiasi terhadap teks.
Di era digital, tantangan literasi menjadi semakin kompleks. Literacy myth, ideological literacy, dan reading wars semuanya relevan dalam menghadapi isu-isu modern seperti penyebaran hoaks, polarisasi sosial, dan ketidakadilan informasi.
Literacy myth mengingatkan kita bahwa meskipun literasi penting, ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai solusi untuk masalah sosial.
Sementara itu, ideological literacy menyoroti perlunya mengajarkan literasi yang kritis dan inklusif, agar masyarakat mampu memahami dan menantang narasi dominan yang mungkin tidak adil.
Dalam konteks ini, debat reading wars memberikan wawasan tentang pentingnya pendekatan yang seimbang dalam mengajarkan literasi.
Misalnya, literasi digital menjadi keterampilan penting di era media sosial, di mana informasi yang salah atau bias ideologis dengan mudah menyebar dan memengaruhi opini publik.
Pendekatan balanced literacy dapat digunakan untuk mengajarkan masyarakat cara memahami informasi digital, termasuk memverifikasi sumber dan menganalisis konteks sosial-politiknya. Dengan menggabungkan ketiga perspektif ini, kita dapat menciptakan pendekatan literasi yang lebih holistik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Literasi bukanlah sekadar kemampuan membaca dan menulis; ia adalah alat yang kompleks yang terhubung dengan harapan, ideologi, dan metode pengajaran yang diperdebatkan. Dalam menghadapi tantangan era digital, literasi harus diajarkan dengan cara yang kritis dan inklusif, menggunakan metode yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
Hanya dengan demikian, kita dapat memanfaatkan literasi untuk membangun masyarakat yang tidak hanya melek huruf, tetapi juga mampu memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Literasi, dengan segala kompleksitasnya, tetap menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan global dan lokal di era informasi.
Baca juga: Hampir Sebulan Kasus Penembakan Gamma, Ayah Korban Datangi Polda Jateng
Baca juga: Daftar Kuliner Khas Wonosobo yang Wajib Dicoba saat Libur Natal dan Tahun Baru, Ada Mie Ongklok
Baca juga: Ketum LDII KH Chriswanto Santoso : Indonesia, Wilayah Strategis yang Memanggil Semangat Bela Negara
Gerakan Mahasiswa Peduli Sampah |
![]() |
---|
Smart Invest, Smart Work: Strategi Human Capital Untuk Boost Produktivitas Gen Z |
![]() |
---|
Sosialisasi Pencegahan HIV/AIDS pada Usia Remaja Bersama Karang Taruna ORRTEMA Desa Pedalangan |
![]() |
---|
Gerakan Perubahan Terburu-buru, Peserta Didik Tak Lagi Berguru |
![]() |
---|
UHB dan Udinus Semarang lestarikan budaya Seni Tari Lengger Lanang dan Wayang Gagrag Banyumas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.