Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ramadan 2025

Sejarah Masjid Agung Semarang tak Lepas dari Berdirinya Kota Semarang

Masjid Agung Semarang merupakan masjid tertua di Kota Semarang juga memiliki sejarah panjang dan terkait erat dengan sejarah berdirinya kota Semarang.

|
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM/REZANDA AKBAR D
MASJID AGUNG SEMARANG - Seorang pedagang sedang melintas di Depan Masjid Agung Semarang. Bangunan dengan cirikhas memiliki atap tujug tiga dan juga gapuranya (TRIBUNJATENG.COM/REZANDA AKBAR D.) 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Masjid Agung Semarang merupakan masjid tertua di Kota Semarang juga memiliki sejarah panjang dan terkait erat dengan sejarah berdirinya kota Semarang.

Masjid yang terletak di Jalan Aloon-aloon Barat Nomor 11, Kelurahan Bangunharjo Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang itu merupakan masjid cagar budaya dan menjadi kebanggaan warga Semarang karena bangunannya yang khas.

Yakni mencerminkan jatidiri masyarakat pesisir yang lugas, sederhana, tetapi tetapi bersahaja. 

Seperti halnya masjid-masjid kuno di Pulau Jawa, Masjid Agung Semarang berada di pusat kota, serta tak berjarak jauh dari pusat pemerintahan atau Kanjengan dan pusat perdagangan Pasar Johar.

Pengaruh Walisongo pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu kuat, memengaruhi ciri arsitektur Masjid Agung Semarang

Ini semua bisa dilihat dari atap Masjid yang berbentuk tajug tumpang (tingkat) tiga. 

Arsitektur ini merupakan ciri khas arsitektur Jawa yang bergaya Majapahit, mirip dengan Masjid Agung Demak yang dibangun pada masa Kesultanan Demak. 

"Tajug tumpang tiga merupakan representasi dari makna filosofi tingkatan manusia Islam, Iman, dan Ikhsan," jelas Sekretaris Masjid Agung Semarang, Muhaimin, Jumat (28/2/2025).

Bagian tajug paling bawah Masjid menaungi ruangan ibadah. 

Tajug kedua lebih kecil, sedangkan tajug tertinggi berbentuk limasan yang ujungnya diberi hiasan mustaka berlafazkan Allah.

Ini mengandung makna tingkatan tertinggi yang ingin dicapai manusia, yaitu marifatullah atau mengenal Allah. 

Semua tajug ditopang dengan balok-balok kayu jati berstruktur modern. Keunikan atap Masjid Agung Semarang dibungkus dengan bahan seng tebal bergelombang.

"Pada waktu itu seng merupakan bahan yang langka dan secara khusus didatangkan dari Belanda. Atap seng sampai sekarang masih dipertahankan dan menjadi salah satu ikon Masjid," sambungnya.

Di ruangan Masjid, terdapat mihrab runcing dengan langit-langit dari beton, terdapat mimbar imam terbuat dari kayu jati dilengkapi ornamen ukir yang indah. 

Konon jaman dahulu mimbar ini dibuat sepasang, salah satunya untuk tempat sholat Bupati.

Sementara pintunya berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan arsitektur khas Persia atau Arab. 

Kompleks Masjid dibatasi pagar tembok dan pagar besi. Pintu masuk utama berupa gerbang masuk gapura dan pada samping terdapat pintu gapuro yang lebih kecil dengan ornamen sejenis. 

Pintu gapuro ini kemudian menjadi model pembuatan gapuro-gapuro kampung di sekitar Masjid.

Masjid Agung Semarang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di kota Semarang, Bahkan Masjid ini juga dianggap sebagai simbol perbauran masyarakat antar-etnis.

Sebab sejak dahulu sekitar Alun-alun dekat Masjid bermukim warga dari berbagai etnis. 

Di sebelah utara yang berbatasan dengan Kali Semarang dan pelabuhan, merupakan perkampungan warga etnis Arab dan Koja. 

Di sebelah barat daya merupakan kawasan Kota Lama bermukim etnis Belanda, sebelah barat bermukim etnis Melayu dan sebelah selatan bermukim etnis Pribumi Jawa yang membaur ke timur bersama etis China. 

Hingga kini, di sekitar Masjid masih terdapat kawasan Pecinan Semarang.  

"Dengan fakta itu, Masjid Agung Semarang sejak jaman dahulu sudah melaksanakan dakwah Islam yang teduh dan mengayomi semua etnis," jelas Muhaimin.

Hingga saat ini belum diperoleh keterangan atau data akurat kapan Masjid Agung Semarang mulai dibangun dan didirikan. 

Muhaimin menjelaskan berdasarkan catatan-catatan sejarah dan cerita-cerita tutur yang dijadikan dasar rujukan, Masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi, atau pada masa kesultanan Demak.

Alkisah seorang dari kesultanan Demak bernama Maulana Ibnu Abdus Salam, yang lahir di Pasai dengan nama asli Sayyid Abdul Qodir, putra dari Maulana Ishaq mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang.

Bersama putranya, Pangeran Made Pandan, beliau meninggalkan Demak menuju ke daerah barat di suatu tempat perbukitan di daerah Pragota yang sekarang bernama Bergota Kelurahan Randusari.

"Dahulu daerah Pragota berada sangat dekat dengan garis pantai. Menurut R.W. Van Bamellen geolog asal Belanda, wilayah Semarang pada saat itu berbeda dengan sekarang," katanya.

Di kala itu garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke kaki bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunung Sawo Simongan dan bukit-bukit lain sekitarnya. 

Seiring dengan berjalannya waktu terjadilah pendangkalan dan endapan lumpur hingga timbul suatu dataran baru, kemudian dikenal sebagai kota bawah dari Kota Semarang, yang muncul karena bentukan peristiwa alluvial.

Maulana Ibnu Abdus Salam bersama putranya, Pangeran Made Pandan, membuka hutan dan menyiarkan agama Islam.

Berdasarkan penyelidikan sejarah oleh C. Lekkerkerker dari Nederland Java en Bali Instituut, menyebutkan bahwa hasil usaha mereka, dari waktu ke waktu semakin menampakkan hasil, kondisi daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu banyak tumbuh pohon asam yang keadaan daunnya jarang-jarang atau tidak nggemplok (rimbun).

Dalam bahasa Jawa, asam disebut Asem dan jarang disebut Arang, sehingga untuk menggampangkan sebutan menjadi nama Semarang.

Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga, Sultan Pajang mengesahkan Semarang setingkat dengan Kabupaten di bawah Kesultanan Pajang.

Beliau juga mengangkat Pandan Arang II menjadi Bupati Semarang yang pertama.

Peristiwa itu terjadi pada tanggal 2 Mei 1547 atau bertepatan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal 954 H. 

Dengan demikian, pada tanggal itu Secara adat dan politis berdirilah Semarang. Pada perkembangannya, Pemerintah Kota Semarang menetapkan tanggal 2 Mei menjadi Hari Jadi Kota Semarang. 

"Saat itu, Bupati Semarang yang pertama, Pandan Arang II menjadikan Masjid tidak sekedar tempat ibadah dan mengajarkan agama saja, tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan," ujar Muhaimin.

Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas yang masih perbukitan dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan, sehingga beliau memindahkannya di daerah yang lebih strategis di Kota Semarang bagian bawah. 

Peta kuno Semarang yang tersimpan di Rijks Archief Belanda menggambarkan bahwa Masjid Semarang dipindah di sebelah timur laut dari Masjid semula, yaitu di wilayah Semarang bagian bawah, di sekitar daerah Pedamaran. 

Daerah tersebut kemudian dinamakan Bubakan, dari kata bubak yang artinya membuka, untuk pusat pemerintahan Kabupaten Semarang. 

Masjid Semarang yang di Bubakan berada di tengah-tengah komunitas orang-orang Belanda di Kota Lama dan komunitas orang-orang Cina di Pecinan, serta komunitas orang-oarang Koja (keturunan Pakistan) di Pekojan. 

Dalam perjalanan sejarah, Bupati Semarang berikutnya adalah Kyai Tumenggung Mertoyudo yang bernama asli Raden Suminingrat, yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo II.

Pada masa ini terjadi peristiwa kebakaran besar yang memusnahkan Masjid peninggalan Ki Ageng Pandan Arang II yang berada di Bubakan. 

Kebakaran ini menyebabkan bangunan Masjid tidak tersisa. 

Bermula dari peristiwa Geger Pecinan akibat terjadinya pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dipicu permasalahan persaingan dagang dengan VOC. 

Karena lokasi Masjid Semarang di Bubakan berdekatan dengan kantor VOC dan juga tak jauh dari kampung Pecinan maka akibat perang itu, Masjid Semarang yang berada di tengah-tengahnya ikut terbakar habis.

Usaha mendirikan Masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo II dengan bantuan Pemerintah Belanda dan lokasinya tidak menempati tempat yang lama.

Namun pindah ke lokasi yang lebih strategis di sebelah barat Bubakan, yaitu di tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Semarang. 

"Tepatnya di ujung Jalan Kauman, di sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa kabupaten yang lazim disebut kanjengan," tuturnya.

Pembangunan Masjid oleh pemerintah Belanda merupakan bentuk kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi salah satunya dengan membangun infrastruktur dan kebutuhan sarana peribadatan, pendidikan, dan pengajaran. 

Dia menjelaskan menurut inskripsi berbahasa dan berhuruf jawa yang terpatri di batu marmer tembok bagian dalam gerbang masuk utama Masjid Agung Semarang, menerangkan Masjid tersebut awalnya dibangun pada tahun 1170 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1750. 

"Pada masa Bupati Suro Hadimenggolon III terjadi usaha perbaikan besar-besaran terhadap bangunan Masjid, hingga menjadi sebuah Masjid yang benar-benar megah dan anggun," jelasnya.

Pada masa itu Masjid Semarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Besar Semarang. (Rad)

Baca juga: Inilah Bacaan Doa Sambut 1 Ramadhan 2025 Lengkap dengan Latin dan Artinya

Baca juga: 8 Hari Tempa Diri di Akmil, Bupati Wonosobo: Siap Emban Tanggung Jawab dengan Mental Baja

Baca juga: Harga Pangan Melonjak Jelang Ramadan: Pemprov Jateng Siapkan Subsidi dan Intervensi Pasar

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved