Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Tragedi

Tangis di Sungai Penanding: Dua Ibu Tewas Hanyut, Anak-anak Bertaruh Nyawa ke Sekolah

Di balik derasnya aliran Sungai Penanding, tersimpan luka yang belum sembuh bagi warga Desa Penanding, Kecamatan Karang Tinggi, Kabupaten Bengkulu

KOMPAS.COM/FIRMANSYAH
Puing-puing Jembatan Penanding yang tersisa pasca dihantam banjir bandang tahun 2022, menjadi saksi bisu tragedi yang menimpa warga. 

TRIBUNJATENG.COM, BENGKULU – Di balik derasnya aliran Sungai Penanding, tersimpan luka yang belum sembuh bagi warga Desa Penanding, Kecamatan Karang Tinggi, Kabupaten Bengkulu Tengah.

Sejak jembatan penghubung antar-kecamatan itu putus total akibat banjir bandang pada 2022, tak hanya akses yang terputus—tetapi juga harapan dan nyawa.

Dua ibu rumah tangga menjadi korban nyata. Mereka hanyut terbawa arus saat menyeberangi sungai sambil membawa hasil panen sawit, karena tak ada jalan lain selain menyusuri bahaya.

Hingga kini, jembatan sepanjang 60 meter itu belum juga diperbaiki, menyisakan cerita tragis dan kemarahan sunyi dari warga yang terus menunggu jawaban.

“Mereka hanya ingin membawa pulang hasil kebun untuk anak-anak mereka.”

Kepala Desa Penanding, Tusim, dengan suara berat mengisahkan peristiwa pilu yang menimpa dua warganya dan seorang dari desa tetangga.

Dua ibu yang sehari-hari bertani, terpaksa mempertaruhkan nyawa demi membawa sawit ke rumah.

Tapi sungai yang meluap dan deras menelan mereka, tanpa sempat ada yang menolong.

“Ini menyedihkan. Mereka hanyut saat menyeberangi sungai membawa buah kelapa sawit. Jembatan tak kunjung diperbaiki,” ujar Tusim, Selasa (22/4/2025).

Namun kisah tragis di Penanding tak berhenti pada dua nyawa yang hilang. Setiap hari, anak-anak sekolah pun harus melawan maut.

Dengan hanya mengandalkan rakit sederhana, para siswa dari keluarga buruh perkebunan menyeberang sungai deras demi bisa sampai ke sekolah.
Bersekolah atau Tenggelam, Pilihan yang Tak Seharusnya Ada

Tusim tak kuasa menyembunyikan rasa sedihnya melihat para siswa yang dipaksa “bermain dengan maut” hanya karena ingin belajar.

“Ada anak-anak yang sekolah, setiap hari naik rakit menyeberangi sungai. Arus deras, tapi mereka tetap nekat karena sekolah adalah harapan mereka,” ungkapnya.

Satu perjalanan bisa menelan biaya Rp 400 per orang.

Sementara untuk petani, ongkos ini berlipat karena mereka juga harus menyeberangkan hasil panen kopi dan sawit, yang dulu bisa dibawa lewat jembatan secara gratis.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved