Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Sekolah Gratis

"Dilema Bagi Sekolah" Pakar Pendidikan Soroti Putusan MK Soal Sekolah Gratis

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun masih menjadi pro kontra.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: rival al manaf
Dokumentasi pribadi
Ngasbun Egar. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memerintahkan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan wajib belajar sembilan tahun masih menjadi pro kontra. Bagi sekolah swasta, keputusan ini dinilai menjadi dilema bagi sekolah.

Mengamati hal tersebut, Pakar Pendidikan sekaligus Akademisi Universitas PGRI Semarang (Upgris), Dr Ngasbun Egar, S Pd, M Pd mengatakan, sudah menjadi hak masyarakat untuk mememperoleh pendidikan gratis seiring dengan wajib belajar 9 tahun.

Menurutnya, jika pemerintah mewajibkan pendidikan selama 9 tahun, sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menggratiskan pendidikan tersebut.

"Nah, masalahnya adalah sekarang kita harus mengecek kembali apakah pemerintah sudah betul-betul memenuhi semua biaya pendidikan itu apa belum? 

Sekarang dicek apakah semua satuan, semua unit, aspek dari pendidikan itu sudah terbiayai apa belum? Kalau sudah ya mestinya memang begitu," katanya saat dihubungi Tribun Jateng.

Ngasbun melanjutkan, untuk sekolah swasta, dirinya memahami apa yang menjadi persoalan bagi sekolah.

Ia menuturkan, sekolah swasta menghadapi tantangan tersendiri dalam hal pembiayaan, Di mana mereka juga masih perlu membiayai tenaga pengajar dan tenaga kependidikan.

Jika pendidikan digratiskan dan tidak ada biaya yang ditarik dari orang tua, maka menurutnya akan menjadi masalah bagi keberlangsungan sekolah swasta. 

"Saya bisa memahami ketika ada yang keberatan, karena memang sekolah swasta masih harus membiayai hal-hal lain. Nah, sumbernya dari mana kalau bukan tarikan dari orang tua?" ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa jika semua biaya pendidikan harus dibiayai pemerintah, maka konsekuensinya adalah pemerintah harus mampu menyediakan dana yang cukup untuk menggaji guru dan membiayai operasional sekolah, termasuk perawatan gedung dan pengadaan fasilitas.

"Apakah pemerintah sudah mampu? Kalau pemerintah mampu, bagus saya kira. Jadi semua sekolah sudah berjalan begitu," ungkapnya.

Lebih lanjut, Ngasbun juga menyoroti pentingnya meningkatkan gaji guru.

"Jadi gaji guru mau diambil dari mana? Apakah biaya yang dari pemerintah boleh diambil untuk gaji guru, apakah cukup nanti?" tanyanya menekankan.

Jika pemerintah mampu mengatur pembiayaan secara efektif, ungkapnya, maka wajar jika mereka melarang sekolah swasta menarik biaya dari orang tua.

"Asalkan kemudian tenaga-tenaga kependidikannya ada yang membiayai, kemudian bangunan-bangunannya perawatan gedung sekolah (juga). Kalau penambahan gedung dan sebagainya ada yang membiayai, mau perluasan lahan sekolah juga ada yang membiayai, itu bisa gitu loh," lanjutnya.

Ia di sisi itu menekankan bahwa pendidikan adalah isu yang kompleks, dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan mengatakan bahwa pendidikan sudah digratiskan.

"Satu sisi masyarakat punya hak untuk dibiayai untuk proses pendidikan anak-anaknya yang sampai dengan 9 tahun itu. Artinya SD sampai 6 tahun, kemudian SMP 3 tahun, itu karena merupakan wajib belajar gitu. Maka itu kemudian dibiayai oleh pemerintah," tegasnya.

Sementara itu, Ngasbun juga menyarankan agar pemerintah melakukan pengecekan kembali terkait aspek-aspek mana saja yang sudah terbiayai dan mana yang belum.

"Nah, aspek-aspek yang selama ini belum dibiayai itu, apakah kemudian bisa dicover, kemudian ditingkatkan biaya dari pemerintah untuk meng-cover biaya seperti bayaran guru, tenaga kependidikan, lalu biaya kalau nanti mau pengadaan lab, gedung baru, perawatan gedung, dan lain-lain," jabarnya.

Ia mengharapkan jika semua aspek pendidikan dapat dibiayai, maka masyarakat akan mendapatkan haknya dengan baik. 

"Kalau itu semua bisa dibiayai, bagus sekali masyarakat mendapatkan haknya. Nah, kemudian juga nanti para pengelola sekolah swasta harus konsisten. Begitu itu sudah sudah terpenuhi semua, sudah enggak usah narik, tinggal mengoperasikan dana-dana yang ada," jelasnya.

Ngasbun juga menekankan bahwa pendidikan adalah salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa dan harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Ia mengungkapkan pentingnya kesepakatan antara pemerintah dan sekolah swasta tentang pembiayaan.

Ia berpendapat, perlu ada perhitungan yang jelas mengenai biaya pendidikan, tidak hanya untuk siswa, tetapi juga untuk guru dan tenaga kependidikan.

"Nah kalau sudah dihitung satuan utuhnya masing-masing kira-kira kalau di tingkat SD itu berapa, di tingkat SMP berapa, maka kemudian ada sharing 'berbagi' kalau memang masyarakat mau dibebaskan betul.

Ada sharing dari pemerintah pusat mau mengambil berapa persennya, dari pemerintah provinsi mengambil berapa persennya, dari pemerintah kabupaten kota mengambil berapa persennya. Karena kalau begitu clear sebenarnya," imbuhnya.

Sebelumnya, sekolah swasta di Semarang mengaku dilema terkait dengan keputusan MK tersebut.

Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan daerah muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Sutarto menjelaskan, jika keputusan MK dilaksanakan, pemerintah harus menanggung pembiayaan untuk pendidikan SD dan SMP.

Ia menyoroti bahwa di Semarang, sudah ada program sekolah gratis. Ia mengapresiasi program tersebut, namun juga ada tantangan bagi sekolah swasta.

"Beberapa sekolah sudah ada program sekolah gratis. permasalahannya memang itu kan didesain tahun 2016-2017 dengan nominal bantuan segitu. Sekarang sudah 2025 ya, sudah 8 tahun.
Nominal bantuan kan tidak naik. Sementara sekolah swasta yang menerima program swasta gratis itu tidak bisa akses ke masyarakat," ungkapnya di sela audiensi dengan DPRD Kota Semarang, belum lama ini.

Ia mengungkapkan, sekolah swasta kini berada dalam posisi sulit, di mana mereka berisiko terkena penalti jika tidak dapat memenuhi standar layanan pendidikan.

"Jadi akhirnya ya sekolah itu melayani masyarakat dengan di bawah standar minimal. Ini kan sebenarnya akhirnya yang dirugikan masyarakat juga," jelasnya.

Sementara itu, ia mengungkapkan usulan dari Muhammadiyah, menyarankan agar pendidikan gratis ditujukan hanya untuk siswa yang benar-benar tidak mampu, baik yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ataupun yang diakui sebagai tidak mampu oleh Bapeda atau dinas sosial.

Dengan demikian, kata dia, siswa di mana pun bisa mendapatkan pendidikan gratis dengan biaya ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Karena program sekolah gratis itu saat ini tidak efektif," nilainya.

Ia menerangkan, pendidikan gratis dianggap tidak efektif karena pembelajaran yang tidak maksimal dan kurangnya insentif bagi guru.

"Karena gurunya untuk bisa menjadi guru kan hanya 70 persen dari total bantuan. Itu jauh di bawah UMK. Kalau bayarannya sedikit, otomatis kan layanannya tetap beda," imbuhnya. (idy)

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved