Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Viral

Penjual Pecel Lele Bisa Dianggap Koruptor, Ini Penjelasan Chandra Hamzah Eks Pimpinan KPK

Chandra Hamzah menilai pasal korupsi terlalu kabur, sampai bisa menjerat penjual pecel lele yang jualan di trotoar.

Editor: Awaliyah P
YOUTUBE
PENJUAL PECEL LELE - Tangkapan layar YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (18/6/2025), saat Chandra Hamzah memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Tipikor. Chandra menyoroti potensi penyalahgunaan pasal korupsi yang bisa menjerat warga biasa, termasuk penjual pecel lele di trotoar. 

Penjual Pecel Lele Bisa Dianggap Koruptor, Ini Penjelasan Chandra Hamzah Eks Pimpinan KPK

TRIBUNJATENG.COM - Pernyataan Chandra Hamzah eks pimpinan KPK tentang penjual pecel lele bisa dianggap koruptor viral di media sosial.

Ia menyebut, berdasarkan rumusan pasal dalam UU Tipikor yang ada saat ini, penjual pecel lele di trotoar bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Chandra menyampaikan penjelasan tersebut saat hadir sebagai ahli dalam sidang gugatan uji materi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 18 Juni 2025.

Menurut Chandra, pasal-pasal dalam UU Tipikor terlalu kabur dan multitafsir.

Ia khawatir pasal itu bisa digunakan menjerat rakyat kecil alih-alih koruptor sesungguhnya.

Bahkan penjual pecel lele yang berjualan di trotoar bisa saja dianggap koruptor.

Pernyataan tersebut disampaikan Chandra untuk menyoroti ketidakjelasan atau ambiguitas pada dua pasal dalam UU Tipikor, yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3.

Dalam penjelasannya, Chandra mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut terlalu luas dan bisa menimbulkan tafsir berlebihan.

Chandra kemudian menyampaikan contoh ekstrem.

Ia menyebut, jika pasal itu diterapkan secara kaku, maka penjual pecel lele di trotoar pun bisa dijerat sebagai koruptor.

"Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara," kata Chandra dikutip dari siaran YouTube Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dijelaskan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, bisa dipidana dengan hukuman 4-20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.

Sementara itu, Pasal 3 mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang dapat merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman yang sama beratnya.

Menurut Chandra, perumusan pasal tersebut tidak memenuhi asas lex certa (rumusan harus pasti dan tidak kabur) serta lex stricta (rumusan tidak boleh ditafsirkan bebas).

Jika tetap dibiarkan, pasal ini bisa jadi alat represif terhadap masyarakat biasa yang sebenarnya tidak memiliki niat korupsi.

Ia menyebutkan, dalam kasus penjual pecel lele di trotoar, unsur dalam pasal itu tetap bisa diakali agar semua terpenuhi:

1. Penjual dianggap melanggar hukum karena trotoar bukan untuk berdagang,

2. Penjual memperoleh keuntungan pribadi,

3, Negara dianggap dirugikan karena fasilitas umum jadi rusak atau terganggu.

Padahal, kata Chandra, praktik semacam itu jelas bukan esensi dari tindak pidana korupsi.

Selain meminta Pasal 2 Ayat (1) dihapus, Chandra juga mendorong agar Pasal 3 direvisi.

Ia mengusulkan agar frasa "setiap orang" dalam pasal itu diubah menjadi "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara".

Perubahan itu, menurutnya, akan selaras dengan semangat Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), yang lebih menekankan pada penyalahgunaan jabatan publik.

"Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," tegas Chandra.

Ia juga menyebut bahwa korupsi seharusnya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang punya kewenangan, bukan rakyat biasa yang hanya mencari nafkah.

Sidang uji materi ini diajukan sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa UU Tipikor terlalu lentur dan bisa disalahgunakan. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved