Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Regional

Bentara Budaya Jakarta Hidupkan Suara Rakyat Lewat Pameran Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa

Bentara Budaya kembali menghadirkan Pameran Tunggal Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa, yang berlangsung pada 11-19 Juli 2025.

Editor: raka f pujangga
Dok. Multimedia Corporate Communication KG
LUDRUK - Penampilan kelompok Ludruk Budhi Wijaya di Pameran Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa. 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Bentara Budaya kembali menghadirkan Pameran Tunggal Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa, yang berlangsung pada 11-19 Juli 2025. 

Pembukaan pameran berlangsung pada Kamis (10/07/2025) di Bentara Budaya Jakarta

Ini menjadi pameran tunggal keenam bagi Moelyono, sekaligus menandai kembalinya ia ke ruang pameran Bentara Budaya Jakarta setelah 18 tahun sejak pameran pertamanya di tempat yang sama pada tahun 2007. 

Baca juga: Cak Sapari Seniman Ludruk Legendaris Meninggal Dunia, Sempat Terbaring Sakit Berbulan-bulan

Dalam rentang waktu itu, tidak hanya terus berkarya, Moelyono juga melewati fase pemulihan dari sakit, lalu bangkit dengan semangat baru melalui karya-karyanya yang menakjubkan.

Pameran ini menjadi pernyataan kuat atas kesetiaan Moelyono terhadap desa dan rakyat kecil. 

Sejak tahun 1980-an, ia tidak hanya dikenal sebagai seniman rupa, tetapi juga sebagai pendidik rakyat yang menyelami kehidupan desa dengan tulus. 

Seni baginya bukan sekadar objek estetika, melainkan sebagai medium penyadaran sosial yang hidup dan membumi.

Ia hadir di desa-desa, mendampingi anak-anak dan masyarakat marginal untuk mengekspresikan pengalaman hidup mereka melalui gambar dan kata lewat gerakan Seni Rupa Partisipatoris.

“Moelyono adalah seniman yang istikamah,” ujar Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi saat membuka pameran pada Kamis (10/07/2025) malam di Bentara Budaya Jakarta

“Ia tinggal bersama teman-teman ludruk di Jombang selama lebih dari delapan tahun–itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh seniman mana pun.”

20250714_Ludruk Budhi Wijaya_2
LUDRUK - Penampilan kelompok Ludruk Budhi Wijaya pada pembukaan Pameran Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa.

Dalam pameran ini, Moelyono mengangkat ludruk sebagai sumber inspirasi utama. Ludruk bukan sekadar seni pertunjukan khas Jawa Timur, melainkan panggung kritik sosial yang hidup dan menyatu dengan kehidupan rakyat. 

“Ludruk ini memang sangat disukai oleh Moelyono,” ungkap salah satu kurator pameran, Frans Sartono. “Baginya, ludruk bukan sekadar seni, melainkan sudah menyatu dengan kehidupan. Kita bisa melihat dan merasakan bagaimana filsafat rakyat hadir dalam karya-karyanya.”

Moelyono sendiri mengaku telah banyak belajar mengenai ludruk sejak tahun 2017.

“Dulu, saya terbiasa menggambar seni yang menggambarkan protes dengan serius. Tapi sejak mengenal ludruk, saya melihat bahwa banyolan bisa disisipkan dalam keseriusan. 

Tampaknya, ada cara lain menyuarakan ketimpangan tanpa kehilangan unsur kritis.”

Di antara karya-karya yang ditampilkan, beberapa mengadaptasi lakon ludruk “Geger Pabrik Gula Gempol Kerep”, sebuah cerita tentang perlawanan buruh tebu terhadap ketidakadilan di masa kolonial. 

Karya-karya Moelyono bersifat hidup, dengan gestur yang memancarkan ironi, pemberontakan, dan kritik terhadap ketimpangan sosial yang tajam. 

“Semangat perlawanan yang sangat menarik dari pameran ini,” tutur salah satu kurator pameran dan penulis Efix Mulyadi. “Dan semangat itu juga kita temukan di dalam sosok Moelyono sendiri.”

Bagi Kolektor Seni Syakieb Sungkar, pameran ini menyajikan lebih dari sekadar karya visual yang indah. 

“Karya-karyanya penuh simbol, dan perlu dihubungkan serta dimaknai dengan perenungan. 

Seni seharusnya bisa mengguncangkan masyarakat, membenturkannya dengan realita seperti kapitalisme. Dan itu terasa di sini.”

Pembukaan Pameran Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa turut dimeriahkan oleh penampilan spesial dari kelompok Ludruk Budhi Wijaya. 

Kehadiran mereka menjadi penanda bahwa karya-karya Moelyono berasal dari ruang yang nyata, tempat rakyat bersuara dan berjuang penuh semangat perlawanan.

Dalam pandangan GM Bentara Budaya & Communication Management Kompas Gramedia Ilham Khoiri, pameran ini adalah bukti dari daya tahan dan ketekunan yang luar biasa. 

“Lewat lukisan-lukisannya, Moelyono menunjukkan semangat dan resiliensi yang lahir dari pergulatan hidup yang panjang. 

Ada juga karyanya yang menafsir ulang Raden Saleh, namun dikemas dengan gaya dan konteks yang baru.”

Keesokan harinya, rangkaian acara dilanjutkan dengan diskusi budaya bertema “Moelyono, Ludruk, dan Perlawanan Rakyat Pedesaan” pada Jumat (11/07/2025) pukul 15.00 WIB. 

Diskusi menghadirkan Romo Sindhunata, Seno Joko Suyono, Rifda Amalia, Ketua Ludruk Budhi Wijaya Didik Purwanto, dan Moelyono sendiri.

Diskusi yang dimoderatori oleh Ilham Khoiri ini diawali dengan pertunjukan lakon “Geger Pabrik Gula Gempol Kerep”, menghadirkan kembali ingatan kolektif tentang sejarah perlawanan desa yang masih relevan hingga kini. 

Baca juga: MPLS di SMPN 1 Kudus Bakal Dibuka dengan Seni Tari Tradisional

Pameran Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa dapat dikunjungi setiap hari pukul 10.00-18.00 WIB dan terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya. 

Melalui karya-karyanya, Moelyono mengajak kita memandang desa bukan sebagai ruang sunyi di pinggiran, melainkan sebagai pusat kebudayaan rakyat yang hidup—tempat di mana seni, tawa, dan perlawanan tumbuh berdampingan.

Bentara Budaya Jakarta mengundang publik untuk menyimak pameran ini sebagai bagian dari perjalanan seni rupa yang berakar pada jantung kehidupan masyarakat dan tak lelah menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan. (*)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved