Aksi Kamisan
Aksi Kamisan Semarang Tolak RUU KUHAP : Minim Keterlibatan Publik
Aksi Kamisan Semarang melakukan penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Aksi Kamisan Semarang melakukan penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (17/7/2025).
Kelompok gerakan dari mahasiswa ini dalam aksinya membentangkan spanduk di antaranya dengan tulisan "RUU KUHAP Dikebut Kebebasan Direbut".
Para orator yang berorasi dengan tegas menolak aturan yang sedang digodok di meja DPR RI tersebut bakal mematikan gerakan rakyat.
"Kami dengan tegas menolak RUU KUHAP yang selama proses tidak adanya keterlibatan publik dalam penyusunan RUU KUHAP, terutama dari kelompok korban represif aparat," Koordinator Aksi Kamisan Semarang, Muhammad Bagas Saputra.
Bagas mengatakan, beberapa lubang pasal yang disoroti dalam RUU KUHAP di antaranya Pasal 111 yang berpotensi tumpang tindih kekuasaan antara Kejaksaan dan Kepolisian serta ketidakpastian hukum di antara para penegak hukum.
Kemudian, Pasal 12 RUU KUHAP mengatur tentang kewenangan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan penahanan. "Sebenarnya banyak pasal yang kita keberatan tapi intinya kita tolak RUU KUHAP," terangnya.
Pihaknya menyebut bakal melakukan aksi lanjutan semisal RUU KUHAP dipaksakan. Hal itu lantaran dampak dari KUHAP sangat berbahaya bagi aktivis yang bakal mudah untuk dikriminalisasi.
"RUU KUHAP berpotensi bisa mematikan gerakan karena salah satu pasalnya memudahkan untuk mengkriminalisasi aktivis," tuturnya.
RUU KUHAP Banyak Masalah
Sementara, Pakar Hukum dari Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang Theo Adi Negoro mengatakan, RUU KUHAP sebelum pembahasan bulan Juli masih menyisakan banyak masalah dari sudut pandang hukum tata negara.
Salah satu yang paling disorot adalah dominasi Polri sebagai penyidik dalam kasus-kasus tertentu yang terasa bertentangan prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik.
"Tanpa pengawasan yang kuat dari lembaga yudikatif, kewenangan yang terlalu besar di tangan penyidik bisa menimbulkan penyalahgunaan," katanya.
Persoalan lainnya, lanjut Theo, terkait hak atas bantuan hukum juga belum dijamin sepenuhnya. Pembatasan peran advokat dalam tahap penyidikan menunjukkan bahwa prinsip due process of law dan perlindungan HAM, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D dan 28I UUD 1945, belum secara maksimal dijadikan acuan utama dalam perumusan RKUHAP.
"Dari sisi kelembagaan, RKUHAP juga belum mampu menyelesaikan persoalan ego sektoral antar aparat penegak hukum. Hal ini melemahkan koordinasi dan bertentangan dengan semangat efektivitas penegakan hukum," ungkapnya.
Dampak ke Aktivis
Theo menilai, manakala RKUHAP ini disahkan dalam bentuknya yang sekarang, dampaknya terhadap aktivisme cukup serius dan patut menjadi perhatian dari sudut pandang Konstitusionalitas.
Dalam negara hukum demokratis seperti Indonesia saat ini, yang berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga hukum acara pidana seharusnya menjadi instrumen perlindungan hak asasi, bukan instrumen represi kekuasaan.
Namun, beberapa ketentuan dalam RKUHAP justru membuka ruang penyempitan terhadap kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat yang dijamin oleh Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945.
Misalnya, jika aparat penegak hukum diberikan kewenangan luas untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, bahkan penyadapan tanpa pengawasan yudisial yang kuat atau mekanisme uji sah, maka risiko penyalahgunaan terhadap kelompok kritis seperti aktivis meningkat signifikan.
Lebih dari itu, tidak adanya kewajiban tegas bagi penyidik untuk memberi akses penasihat hukum sejak awal, serta diperbolehkannya pengawasan komunikasi antara advokat dan klien dalam perkara tertentu, bertentangan dengan prinsip due process of law yang merupakan bagian dari jaminan konstitusional (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dan juga asas perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana modern.
"Dari perspektif Hukum Tata Negara, ini bisa dikategorikan sebagai kemunduran dalam demokrasi konstitusional (constitutional democracy), karena hukum tidak lagi melindungi warga dari potensi penyalahgunaan kekuasaan, melainkan justru memberi legitimasi kepada negara untuk menekan suara-suara kritis," katanya.
Jika ini dibiarkan, lanjut Theo, maka aktivisme yang sejatinya menjadi bagian dari partisipasi warga negara dalam kehidupan berbangsa akan terancam dibungkam melalui prosedur hukum yang tampak sah, padahal secara substansi bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
"Dengan kata lain, pengesahan RKUHAP dalam bentuknya yang sekarang berpotensi menciptakan _chilling effect_ terhadap kebebasan berekspresi dan aktivisme di Indonesia, dan itu merupakan sinyal bahaya bagi kualitas demokrasi dan perlindungan konstitusional warga negara," paparnya.
Pada akhirnya, Theo menilai transparansi dan akuntabilitas masih lemah. RUU KUHAP belum mengatur dengan baik soal pengawasan pengadilan terhadap penyidikan, rekaman CCTV, atau mekanisme pengaduan masyarakat.
"Padahal, keterbukaan dan pengawasan publik adalah bagian penting dari prinsip negara hukum yang demokratis," bebernya.
Dia menyarankan, perlu partisipasi yang sangat luas diperlukan sehingga mengakomodasi kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat luas, terutama meningkatkan rasa memiliki terhadap UU ini. Sebab, menurutnya sejauh ini RUU KUHAP memang terkesan dilakukan di ruang tertutup.
"Jika tidak, maka RUU KUHAP ini rawan sekali untuk tidak mendapatkan legitimasi," tandasnya. (Iwn)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.