Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Sound Horeg dan Ekonomi Keumatan: Antara Hiburan, Mudarat, dan Keadilan Sosial

Sound Horeg dan Ekonomi Keumatan: Antara Hiburan, Mudarat, dan Keadilan Sosial

Editor: Editor Bisnis
UIN SAIZU PURWOKERTO
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E Akademisi UIN Saizu Purwokerto 


Pendukung sound horeg kerap menyebut manfaat ekonominya: menggerakkan pedagang kecil, menyerap tenaga kerja, membuka ruang ekspresi budaya. Tapi mari kita telusuri lebih jujur: siapa yang paling diuntungkan?


Sewa sound horeg skala besar bisa mencapai puluhan juta rupiah, apalagi jika disewa atas nama RT atau desa. Iurannya pun jarang benar-benar sukarela.


Meski disebut “urunan lima ribuan,” pada praktiknya ada tekanan sosial bagi warga yang enggan ikut. Masyarakat kecil akhirnya terpaksa iuran, takut dianggap pelit, dikucilkan, atau dimusuhi. Ini bukan gotong royong, tapi bentuk beban ekonomi tambahan di tengah kondisi hidup yang sudah berat.


Apakah ini yang dimaksud ekonomi keumatan? Bukankah ekonomi umat seharusnya meringankan, bukan membebani?


Hiburan vs Maksiat: Jangan Pilih-pilih Dampak


Ada argumen dari sebagian pihak yang mengatakan, “Kerusuhan, joget buka aurat, dan mabuk bukan dari kami pemilik sound. Kami hanya menyediakan suara.”


Namun argumen ini problematis. Jika mereka hanya ingin diukur berdasarkan suara semata, maka kelompok penentang pun bisa berkata, “Manfaat ekonomi juga bukan dari kalian, sebab kalian hanya memutar suara.”


Jika kita ingin bersikap adil, maka seluruh dampak baik positif maupun negatif harus dihitung sebagai satu paket. Tak bisa hanya menonjolkan sisi ekonomi dan budaya, lalu menolak bertanggung jawab atas sisi destruktifnya.


Dalam kaidah usul fikih, jika satu kegiatan mengandung dua kemungkinan manfaat dan mudarat maka bila mudarat lebih dominan, maka hukumnya haram.


Apalagi jika mudarat itu mencakup pengrusakan fisik (rumah retak karena getaran), psikologis (gangguan tidur warga), hingga moral (aurat dan mabuk-mabukan).


Islam dan Etika Suara


Islam mengatur adab bersuara. Dalam QS. Luqman:19, Allah memerintahkan kita merendahkan suara, dan menyebut suara keras menyerupai suara keledai. 


Dalam kitab I’anatut Thalibin disebutkan bahwa mengangkat suara dalam salat saja bisa menjadi haram jika mengganggu orang lain. 


Maka bagaimana mungkin suara sound horeg yang menggetarkan dinding rumah, membangunkan bayi, atau membuat lansia stres bisa dimaafkan begitu saja?


Hadis Nabi Muhammad SAW juga jelas: “La dharara wa la dhirara” jangan menyakiti dan jangan disakiti. Bahkan dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda: “Muslim sejati adalah yang membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya.”

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved