Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banyumas

Program MBG Banyumas Dikepung Keluhan, Kepala SPPG di Purwokerto Memilih Bungkam

Program MBG yang digagas pemerintah pusat dan mulai dijalankan di Kabupaten Banyumas sejak Februari 2025, kini menuai beragam sorotan

Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: muslimah
Tribun Jateng/Permata Putra Sejati
SPPG MBG - Suasana di halaman depan SPPG Brobahan Purwokerto, salah satu SPPG Makan Bergizi Gratis (MBG) pertama di Banyumas, Jumat (22/8/2025). Di tengah sorotan publik dan keluhan dari sekolah maupun orangtua, jajaran pelaksana program di lapangan, khususnya para Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), tampak minim respons. 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat dan mulai dijalankan di Kabupaten Banyumas sejak Februari 2025, kini menuai beragam sorotan. 

Tujuan awal program ini untuk meningkatkan gizi siswa dan meringankan beban orangtua justru dihadapkan pada berbagai persoalan teknis, kualitas, dan distribusi.

Namun di tengah sorotan publik dan keluhan dari sekolah maupun orangtua, jajaran pelaksana program di lapangan, khususnya para Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), tampak minim respons. 

Hingga Jumat (22/8/2025) belum ada respon lebih lanjut terkait hal tersebut. 

Upaya Tribunbanyumas.com untuk meminta klarifikasi contohnya dari Kepala SPPG Gor Satria, Amira, tidak membuahkan hasil yang memadai. 

Baca juga: Roti Jamuran dan Kotak Makan Bau Sabun, Berikut Ini Catatan Buruk Program MBG di Banyumas

Lewat pesan singkat, Amira hanya menyampaikan keenggananya memberikan keterangan. 

"Mohon maaf nggih mas saya sedang tidak bisa, mungkin bisa wawancara ke SPPG lain dulu nggih," katanya dalam pesan singkat. 

Ia menyebutkan sejumlah dapur SPPG sudah kembali operasional, seperti di wilayah RRI, Baturraden Pandak, Bulupitu, dan Bantarsoka. 

Amira pun mengarahkan menghubungi Koordinator SPPG wilayah Banyumas, Luky Ayu, yang bertugas di SPPG RRI Brobahan.

Sayangnya, hingga beberapa kali dihubungi, pihak SPPG Brobahan maupun Luky Ayu belum mau memberikan tanggapan.

Minimnya respons dan kesan tertutup dari para pelaksana lapangan ini berbanding terbalik dengan meningkatnya keluhan dari para penerima manfaat MBG

Sejumlah sekolah dan orangtua mulai menyuarakan ketidakpuasan terhadap kualitas, rasa, bahkan distribusi makanan yang tak merata.

Keluhan pertama datang dari SDN 4 Kranji, Purwokerto, yang aktif memantau kualitas makanan yang diterima siswa setiap harinya. 

Guru kelas, Menik Galuh (32), menyampaikan bahwa pihak sekolah turut memeriksa kondisi makanan sebelum dibagikan kepada siswa.

"Karena itu masaknya pagi banget ya, jadi dalam keadaan panas kemudian mungkin langsung dimasukin box. 

Sayurnya ketika akan dimakan jadi layu dan kurang fresh," jelas Menik.

Ia menegaskan makanan dalam kondisi kurang layak tidak akan diberikan kepada siswa.

"Kalau mendapati sayur dalam kondisi nggak bagus dan kurang fresh, saya bilang ke anak, tidak usah dimakan," ujarnya.

Menik menambahkan pihak sekolah menjaga komunikasi intensif dengan penyedia makanan MBG, terutama bila ditemukan lauk yang tidak layak atau susu yang menggumpal.

Di sisi siswa, keluhan terutama datang dari anak-anak kelas bawah yang masih belum terbiasa dengan pola makan sehat. 

Sementara siswa kelas 4 hingga 6 dinilai sudah bisa menyesuaikan diri. 

Menik menyebutkan, anak-anak dari keluarga kurang mampu sangat terbantu, namun mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan kerap merasa makanan kurang cocok.

Di jenjang lebih tinggi, SMKN 2 Purwokerto yang sudah menerima program sejak 13 Januari 2025, juga menyampaikan keluhan. 

Yosafat Arunaseta, siswa di sekolah tersebut mengeluhkan porsi yang kurang, menu yang monoton, dan keterlambatan distribusi makanan.

"Kadang porsinya kurang, menunya juga gitu-gitu aja, dan sering telat datangnya," kata Yosafat.

Ia juga menyoroti rasa makanan yang dianggap tidak konsisten.

"Aku kurang suka sama sayurannya, agak hambar. Kadang lauknya asin banget, kadang juga nggak ada rasanya," ujarnya.

Sebelum ada MBG, mayoritas siswa di SMKN 2 membawa bekal sendiri karena keterbatasan fasilitas kantin. 

Kini, meski merasa terbantu, mereka masih mempertahankan kebiasaan membawa makanan dari rumah.

Kasus paling mencolok terjadi di SMAN 2 Purwokerto, ketika ditemukan roti sandwich berjamur dan kotak makan masih bau sabun. 

Meski tidak menimbulkan gangguan kesehatan, temuan ini sempat memicu keresahan dan langsung dilaporkan ke SPPG serta Dinas Kesehatan.

Aurora Fairus, siswi kelas 12 di sekolah tersebut, mengatakan rasa makanan MBG sering tidak konsisten.

"Kadang keasinan, kadang hambar. Jadi nggak konsisten," ujar Aurora. 

Ia juga pernah mendapatkan makanan bersantan yang terasa basi.

Rekannya, Stanley Disatria, menyebut bahwa rasa dan tingkat kematangan berbeda-beda.

"Kadang punya temen enak, punya saya nggak. 

Saya selalu kroscek dulu sebelum makan, takut ada yang jamuran atau bau," ucap Stanley.

Meski begitu, Stanley tetap menghargai upaya program ini. 

"Menu apa saja nggak masalah, asal ada protein, karbo, dan buah," tambahnya.

Dari wilayah pinggiran, suara ketimpangan mulai mencuat. 

Muji Lestari, orangtua siswa SDN 4 Tunjung, Kecamatan Jatilawang, mengaku hingga kini anaknya belum pernah mendapatkan jatah MBG.

"Belum, sampai sejauh ini belum dapat. Sebenarnya kita menantikan segera ada. Karena sekolah yang ada di kota Purwokerto juga sudah dapat sejak lama," ujar Muji.

Ia berharap program ini segera menjangkau desa-desa, agar tidak memicu kecemburuan sosial.

"Yang di pinggiran kaya kita juga harusnya diprioritaskan," katanya.

Sejumlah masalah juga tercatat dalam operasional dapur. 

Dapur MBG pertama di Kelurahan Kranji sempat berhenti beroperasi karena kendala teknis. 

Dampaknya, distribusi makanan ke 2.670 siswa dari jenjang TK hingga SMK sempat terganggu.

Selain itu, keluhan terhadap kualitas makanan mencakup ayam yang terlalu kering, buah yang tidak segar, hingga bau sabun dari kotak makanan. Bahkan ditemukan ulat pada buah.

Merespons hal itu, sejumlah sekolah mulai menerapkan SOP ketat untuk uji kualitas makanan sebelum dibagikan ke siswa.

Meski demikian, sebagian sekolah tetap melihat manfaat besar dari MBG bagi siswa dari keluarga tidak mampu. 

Namun mereka mendesak agar evaluasi program dilakukan secara berkala, dengan melibatkan ahli gizi dan akademisi untuk mengukur dampak terhadap kesehatan dan konsentrasi belajar siswa.

Di SMAN 2 saja, total penerima manfaat program mencapai 1.181 siswa.

Minimnya respons dari para Kepala SPPG di tengah munculnya berbagai persoalan menjadi sorotan tersendiri. 

Ketika kritik dan masukan muncul dari masyarakat, pelaksana program di tingkat daerah semestinya tampil. (jti) 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved