TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Pelemahan nilai mata uang rupiah (Rp) menjadi isu seksi sepanjang 2014. Rata-rata pergerakan kurs rupiah yakni sekitar Rp 12.000 per dollar Amerika Serikat (USD).
Berbeda dengan sebelumnya, ketika akhir tahun rupiah bakal kembali menguat, itu belum tampak terlihat hingga akhir 2014. Laju inflasi pun terus bergerak dan dikhawatirkan terus terjadi di sepanjang 2015 mendatang.
Terlepas dari hal itu ada angin segar bagi laju perekonomian di Jawa Tengah. Tingkat inflasi sepanjang tahun ini lebih rendah dibandingkan nasional. Pada Triwulan III Jawa Tengah di angka 6,19 persen sedangkan nasional 6,23 persen. Lalu pertumbuhan ekonominya mencapai 5,4 persen sedangkan nasional hanya 5,01 persen.
Lalu bagaimana pada 2015? Berikut pandangan serta prediksi Kepala Kantor Perwakilan (KpW) Bank Indonesia (BI) Wilayah V Jateng-DIY, Iskandar Simorangkir, kepada Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan, Dini Suciatiningrum, dan Wahyu Sulistiyawan.
Kurs rupiah masih melemah terutama menjelang akhir tahun ini. Menurut Anda, apa yang sedang terjadi?
Melemahnya nilai mata uang rupiah hingga saat ini lebih diakibatkan oleh faktor eksternal. Depresiasi perekonomian sedang dialami negara lain, terutama negara yang sedang berkembang. Itu merupakan fenomena global dan tidak hanya terjadi di Indonesia. Faktor utama pemicu yakni adanya rencana Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, hendak menaikkan tingkat suku bunga pada Triwulan II 2015.
Dari rencana itu, menjadi indikator perekonomian di negara tersebut mengalami pertumbuhan positif. Terlihat semakin besarnya serapan tenaga kerja sehingga para investor berkeyakinan dan cenderung mengalirkan uangnya ke AS. Itu tentu berdampak bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, hal yang patut diwaspadai yakni perlambatan ekonomi di Tiongkok. Bagi Indonesia, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor terutama untuk produk tekstil dan mebel. Jika hal itu terus terjadi, permintaan ekspor akan berkurang. Ekspetasi akan semakin memburuk.
Faktor lain, semisal penurunan harga minyak dunia. Meskipun kualitas minyak Indonesia lebih bagus, tetapi harganya masih dianggap lebih mahal dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah. Itu menjadi pemicu pelemahan nilai tukar rupiah. Lalu AS kini menjadi negara penghasil shale gas terbesar dan 2014 adalah puncak produksi keekonomiannya. Adanya stok minyak lapisan bawah yang melimpah itu berdampak pada harga minyak secara global anjlok. Sisi lain, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pun hingga kini belum mau mengurangi kuotanya.
Ada solusi atau langkah yang dilakukan Bank Indonesia atas kondisi itu?
Berkaca pada tren global itu dan guna meminimalisir dampak terjadinya inflasi, kami membuat kebijakan menaikkan suku bunga atau BI Rate. Harapannya, agar tingkat permintaan masyarakat dalam membelanjakan uangnya menjadi lebih terkendali. Penyesuaian nilai tukar harus dilakukan meskipun hal itu tidak mudah. (*)