Outlook Jateng 2015

Abdul Kholik Beberkan Rahasia Kemenangan Dua Pilkada di Wonosobo

Penulis: adi prianggoro
Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Kholik Beberkan Rahasia Kemenangan Dua Pilkada di Wonosobo

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Mengawali kariernya sebagai seorang wartawan, Abdul Kholik Arif terjun ke dunia politik lewat Partai Kebangkitan Bangsa. Pria kelahiran Wonosobo 16 September 1968 ini terpilih jadi Wakil Bupati Wonosobo tahun 2000 - 2005.

"Sejak menjadi Wakil Bupati saya baru mengenal yang namanya sepatu dan kaus kaki. Sebelumnya saya tidak pernah memakainya," kata Kholiq dengan wajah serius saat mengawali wawancara dengan Tribun Jateng di Wisma Perdamaian, Semarang, baru-baru ini.

Politisi yang mengaku terinsipirasi banyak oleh Gus Dur ini diberi kepercayaan masyarakat Wonosobo menjadi bupati selama dua periode, yaitu 2005 - 2010 dan 2010 - 2015.
Di bawah kepimpinannya, Wonosobo yang dulunya akrab dengan peristiwa tawuran, kerusuhan, dan kriminalitas tinggi itu berangsur berubah hingga pernah mendapatkan predikat kabupaten Teraman kedua se-Indonesia pada 2012.

Bagaimana kisah, pengalaman, dan kiat Kholiq menjadi bupati selama dua periode? Berikut wawancara wartawan Tribun Jateng, Adi Prianggoro dengan Bupati Wonosobo tersebut.

- Bisakah Anda berbagai cerita terkait pengalaman dua kali maju dan memenangkan Pilkada?

Saya melewati dua pilkada berbeda, yaitu langsung dan tidak langsung. Di sana pemaknaan demokrasinya sangat berbeda. Kalau demokrasi langsung saya menghadapinya nyaris tanpa pertarungan. Sedangkan demokrasi tidak langsung ada koalisi di dalamnya yang ditentukan hanya beberapa orang saja. Pada dua periode itu, tujuan saya maju (dalam pilkada) yaitu menjadikan Wonosobo aman.

-Sebenarnya, berapa biaya yang dibutuhkan untuk memenangkan sebuah Pilkada?
Saya diusung oleh partai-partai besar dan sejumlah kalangan. Makanya saya tidak mengeluarkan uang banyak. Saat Pilkada tahun 2005 saya hanya habis sekitar Rp 500 juta, sedangkan tahun 2010 saya habiskan dana sekitar Rp 3 miliar. Memang ada perbedaan selisih cukup banyak. Hal itu karena pada 2005, biaya membayar saksi yang ditempatkan di TPS-TPS hanya Rp 25 ribu per orang.

Perbedaannya dengan Pilkada tahun 2010?
Nah, pada tahun 2010 biaya saksi bisa sampai Rp 75 ribu per orang - Rp 100 ribu. Ada juga kenaikan harga baliho, percetakan spanduk, dan alat peraga lainnya. Artinya, terjadi pembengkakan biaya yang cukup signifikan.

Untuk alokasi apa saja biaya sebesar tersebut?
Kegunaan paling banyak untuk membayar saksi dan membuat alat peraga. Selain itu membutuhkan biaya juga untuk mobilisasi, saat kampanye dari satu tempat ke tempat lain.

Apakah Parpol yang mendukung Anda meminta sesuatu, katakanlah Mahar?
Kalau dari kantung saya tidak ada uang yang keluar sama sekali. Tapi entah dari kantong pihak lain. Tahun 2000 partai yang mengususng saya adalah PKB dan PDIP, Golkar, fraksi TNI Polri. Kemudian tahun 2005 saya dengan PKB, PKS, dan PAN sedangkan tahun 2010 PKB dan Golkar. Mereka justru urunan untuk mengusung saya.

Saat maju di Pilkada, apakah Anda menggunakan konsultan politik?
Konsultan politik itu penting. Saya memakainya, tapi sifatnya perkawanan, semuanya kawan dan teman diskusi. Mereka melakukan tugasnya yaitu proses pengawalan suara. Tapi ingat, mereka bukanlah tim sukses. Mereka adalah sekumpulan simpatisan yang memamarkan fakta tentang bagaimana peta saya di lapangan. Kalau kalah, maka harus bilang kalah. Meskipun saya paham tentang Wonosobo, tapi aku orangnya selengean. Jadi butuh orang-orang yang mengatur waktu, dan mengingat satu-satu tentang bagaimana karakter satu desa dengan desa lain.

Berapa Anda menghabiskan uang untuk membayar konsultan politik?
Saya tidak punya uang untuk membayar konsultan politik yang high class. Namun fakta bahwa konsultan politik dari teman-teman saya sendiri membutuhkan akomodasi dan biaya mobilisasi, maka mereka perlu dana juga. Habisnya sekitar Rp 250 juta.

Apakah Anda menggunakan hasil survei sebagai patokan saat maju sebagai calon Bupati?
Iya, saya memanfaatkan hasil survei. Pada pemilihan 2005 saya mainkan hasil survei itu. Bagaimana? Saya sebarkan informasi hasil survei yang menyebutkan saya kalah di beberapa daerah. Kenapa? Itu supaya calon incumbent dan pesaing lain lengah. Penyebab kegagalan utama para incumbent biasanya adalah terlena. Kita boleh bilang kalah, tapi harus diingat faktanya kita menang.

Apakah istri, kerabat, atau saudara yang berencana maju dalam Pilkada 2015 nanti?
Rencananya tidak, saya melarangnya. Birokrasi itu bukan dinasti. Saya larang istri, adik, atau saudara saya untuk maju pencalonan. Apalagi jika Perppu Pilkada nanti disetujui oleh DPR, tidak ada lagi pemimpin daerah yang bisa mengusung sanak keluarganya dalam Pilkada. Perlu saya tegaskan lagi, politik itu membangun kesajahteraan, bukan kong-kalikong. Politik dinasti itu tidak baik. (tribunjateng/adi prianggoro)

Berita Terkini