Outlook Jateng 2015

Batik Jateng Masih Sulit Berjaya di Pasar Internasional, Ini Alasannya

Penulis: muslimah
Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DESAINER BATIK KOTA SEMARANG Dana Rahardja

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Sejak diakui sebagai warisan budaya oleh UNESCO pada 2009, perkembangan batik Indonesia menggeliat pesat. Di Semarang, setiap tahun rutin digelar beberapa kali pameran batik di pusat-pusat perbelanjaan. Belum lagi, pameran yang diselenggarakan instansi tertentu, serta fashion show dari beberapa gerai batik.

Jika dulu batik hanya digunakan pada acara resmi, kini busana berbahan batik bisa dikenakan di mana saja karena bermunculan model yang lebih trendy, motif yang bervariatif, serta kaya warna. Bagaimana prospek batik ke depan, dan apakah benar masyarakat sudah lebih 'sadar' batik? Desainer asli Semarang, Dana Rahardja mengungkapnya dalam wawancara berikut.

Sepanjang 2014, bagaimana perkembangan pasar batik khususnya di Jateng?
Dari sisi peminat, jelas semakin besar. Sekarang, hampir setiap orang memiliki batik. Apalagi pemerintah mewajibkan mengenakan batik pada hari-hari tertentu. Batik pun diproduksi secara massif untuk memenuhi permintaan pasar.

Berarti, kondisi ini sangat menguntungkan bagi desainer batik seperti Anda?
Masalahnya, kesadaran masyarakat akan batik belum sepenuhnya pada jalur yang benar. Batik adalah karya hand made. Karena itu, kain bercorak hasil printing tidak termasuk batik. Printing bisa diproduksi dalam waktu cepat dan jumlah besar. Sementara, batik cap, apalagi tulis karena menggunakan tangan manusia, bukan mesin, prosesnya lebih lama dan harga juga lebih mahal. Masyarakat sebagian masih menganggap printing sebagai batik. Itulah yang mereka buru di pasar-pasar. Jadi, musuh terbesar batik sebenarnya printing.

Ambil contoh, jika ada instansi yang melakukan pengadaan seragam batik. Jika dalam jumlah besar, pada akhirnya akan memilih printing karena waktu pembuatan lebih cepat. Jarang sekali yang mau mengadakan seragam dan menunggu sekian lama karena memilih kain batik cap atau tulis.

Apa yang harus dilakukan melihat perkembangan tersebut? Apakah desainer pada akhirnya juga menggunakan printing?
Idealisme tetap dijaga. Meski demikian, kami juga harus berdamai dengan pasar. Pada akhirnya, dipilih jalan tengah, lebih banyak menyediakan busana ready to wear berbahan batik cap karena tulis dirasa terlalu mahal. Apalagi, karakter masyarakat Semarang dalam membeli baju pasti akan memilih harga lebih murah.
Uniknya, untuk busana pesta, mereka justru bersedia mengeluarkan dana besar. Karena itu, di Semarang, lebih banyak desainer busana pesta dan wedding dibandingkan perancang baju ready to wear.

Bukankah batik juga bisa untuk busana pesta? Apa yang dibutuhkan para perancang batik agar fashion batik tidak terkesan monoton? Apakah perlu menonjolkan kedaerahan?

Batik untuk busana pesta itu yang mulai saya rintis. Saya sudah mengeluarkan beberapa rancangan gaun untuk pesta.
Sekarang batik sangat kaya variasi. Baik itu dari sisi corak yang ditampilkan maupun model busana yang ditawarkan. Corak semakin beraneka karena hampir setiap daerah mengeluarkan seri batik mereka sendiri. Biasanya, didasarkan pada sejarah dan budaya setempat
Dari sisi model, perancang selalu mencoba menghadirkan sesuatu yang baru. Lewat cara tersebut, batik tidak lagi menjadi sesuatu yang monoton seperti di masa lalu. Perancang di daerah biasanya tetap membawa kekhasan daerah masing-masing di samping aneka batik dari daerah luar sesuai kondisi pasar. (tribunjateng/cetak/msi)

Berita Terkini