TRIBUNJATENG.COM - Bubur tujuh rupa dikenal sebagai hidangan yang disajikan dalam upacara tujuh bulanan dalam tradisi Jawa.
Bubur tujuh rupa terdiri dari bubur merah dan bubur putih yang dilengkapi dengan candil, sum-sum, ketan hitam dan lainnya.
Nah, Di Semarang ternyata ada juga bubur tujuh rupa yang siap dinikmati setiap hari. Adalah bubur tujuh rupa Bu Joko yang kini sudah populer menjadi kudapan pengganjal perut di jam makan siang.
Dinamakan bubur tujuh rupa karena isinya terdiri dari tujuh bahan yang berbeda.
Bubur yang dijual dengan gerobak dorong kecil ini terbuat dari bubur sum-sum, bubur kacang hijau, bubur ketan hitam, candil, bubur tela, mutiara dan bubur jawawut ditambah dengan gula jawa dan santan sebagai pelengkap. Menurut penjualnya yang akrab disapa Bu Joko ini jawawut merupakan ciri khas dari buburnya.
“Di antara semua bahan, yang sudah jarang ditemui itu jawawut. Sudah tidak banyak yang buat bubur jawawut ini. Itu juga bagus lho untuk orang yang sedang diet,” ujar Bu Joko sembari menyajikan bubur pada pelanggannya.
Jawawut atau juwawut sendiri adalah sejenis tanaman berbiji kecil yang pernah menjadi makanan pokok sebelum budidaya padi.
Sama halnya seperti padi, tumbuhan ini juga diambil bijinya untuk diolah menjadi makanan. Bu Joko menuturkan ia mendapatkan bahan baku jawawut dari pasar gang baru pecinan.
Wanita asal Tuntang, Salatiga, ini menambahkan dalam sehari ia bisa menghabiskan 3-4 kilogram bahan baku untuk membuat bubur.
Bu Joko sudah berjualan bubur tujuh rupa sejak tahun 2005. Awalnya ia berjualan dengan cara berkeliling hingga akhirnya memutuskan menetap juga dengan gerobak kecilnya tanpa tenda atau kios. Kini ia berjualan secara rutin di depan Swalayan Bali jalan Gajah Mada Semarang.
“Kalau menetap sudah tujuh tahun terakhir ini. Ya, karena dari pelanggan banyak yang minta kok tidak menetap saja. Katanya sih biar mudah dicari, kalau keliling kan ada yang kebagian ada yang tidak,” tambah Bu Joko.
Bubur tujuh rupa Bu Joko buka mulai pukul 13.00. Waktu siang dipilih karena dipagi hari ia membantu memasak sang suami yang berjualan soto.
Bubur yang dijual mulai dimasak ketika pukul 09.00. Ia menuturkan lama waktu memasak bubur berkisar antara dua jam dimana proses paling lama ialah memasak ketan hitam.
Meski dipinggir jalan, pembeli yang datang terlihat ramai memenuhi gerobak kecil tersebut. Ada yang makan ditempat adapula yang dibawa pulang.
Bubur tujuh rupa ini dibagi menjadi dua hidangan yakni ukuran gelas kecil dan gelas besar.