Forum Guru

HOTS dan Paradigma Berpikir Peserta Didik

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebanyak 504 siswa mengkuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang berlangsung di SMA N 1 Semarang, Senin (10/4). Siswa ini terdiri dari 417 siswa program IPA dan 87 siswa dari program IPS.

TRIBUNJATENG.COM -- Program pengayaan ataupun pendalaman materi mata pelajaran yang di-UN-kan praktis berubah menjadi dunia yang senyap – saat pelaksanaan Ujian Nasional selesai. Tidak terdengar nuansa gegap gempita seperti berkibarnya spanduk penyambutan hingga tradisi masuk jam enam pagi.

Terkesan para peserta didik harus turun mesin untuk menenangkan pikiran. Pada saat demikian saya pernah iseng-iseng, memanfaatkan materi soal UN tahun sebelumnya (sudah tidak terpakai) untuk saya ujikan pada peserta didik yang duduk di kelas bawahnya. Harapan saya -– sekitar setahun lagi mereka akan melahab soal yang kualitasnya (baca: tingkat kesukarannya) tidak beranjak jauh berbeda. Dari persepsi psikologis, saya berharap ada upaya persiapan mental yang sengaja saya tanamkan lebih awal. Dengan demikian kelak mereka akan menikmati Ujian Nasional secara menyenangkan.

“Lho, bukankah materi yang diajarkan belum sampai pada materi yang diujikan pada Ujian Nasional Pak?” pertanyaan kritis hampir serentak sering muncul.

“Sudah, kerjakan semaksimal mungkin. Yang sudah Bapak ajarkan kalian pasti mampu… sedangkan yang belum Bapak ajarkan, tolong dicoba dipikir secara metakognitif,” jawab saya untuk memberi stigma ilmiah. Wibawa akademis harus saya jaga kuat-kuat.

Sembilan puluh menit kemudian jawaban siswa terkumpul. Bergegas saya mengoreksinya. Selang satu jam sudah selesai. Hasilnya?! Banyak siswa yang memperoleh nilai di atas tujuh puluh enam. Dari lima puluh nomor soal malah ada yang mendapat nilai delapan puluh. Itu artinya yang bersangkutan mampu menjawab empat puluh nomor dengan status benar.

Sebagai guru yang kepengin cerdas, saya mengernyitkan jidat: Apakah perolehan nilai yang baik-baik tadi merupakan nilai murni sesuai kemampuan akademik mereka atau sebagian (materi yang belum saya ajarkan) dikerjakan secara asal pilih? Toh materi soal Ujian Nasional “hanya” menuntut siswa untuk memilih opsi A, B, C, D atau E.

Meskipun soal Ujian Nasional menggunakan pilihan ganda – tetap membutuhkan perasan akumulasi berpikir bertahun-tahun ketika peserta didik kita berhadapan dengan materi soal Ujian Nasional. Menjadi benar kalau para guru memberikan penekanan pemahaman bahwa soal-soal yang tersaji tetap menggunakan “roh” pola pikir tingkat tinggi. Meminjam semangat HOTS (Higher Order of Thinking Skill/HOTS) adalah pembelajaran yang mengarah pada model berpikir kritis.

Berpikir kritis atau berpikir tingkat tinggi membutuhkan langkah-langkah pembelajaran yang berbeda dengan model berpikir sekadar mempelajari fakta dan konsep semata. Tentu dibutuhkan metakognisi yang mencakup pengetahuan tentang kapan dan bagaimana mengunakan strategi-strategi khusus untuk memecahkan persoalan yang kompleks. Peserta didik didewasakan lewat jalur pembelajaran yang bersifat menemukan solusi.

Referensi lain memaknai: Berpikir kritis adalah berpikir argumentatif, mencerminkan sikap bertanggung jawab yang difoluskan pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini. Mengembangkan berpikir kritis dan kreatif dapat dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan inovatif. Bukan pertanyaan stereotif yang terkesan jalan di tempat. Agak ironi jadinya ketika dalam proses pembelajaran para guru masih lupa memberi ruang bertanya seluas-luasnya kepada peserta didik.

Pada kurikulum 2013 kecerdasan yang terasa diidolakan adalah kecerdasan metakognitif. Peserta didik diharapkan mampu bersikap mandiri dan tahu apa yang telah dipelajari, sedang dipelajari dan apa yang harus dipelajari. Metakognitif yang efektif diharapkan mampu mengontrol proses berpikir yang sedang berlangsung pada diri sendiri.

Menghadirkan HOTS secara nyata dalam konteks pembelajaran kita, tidak ada buruknya kalau kita mencoba memicu paradigma berpikir peserta didik. Jika soal-soal pilihan ganda lebih memberikan pengerucutan hasil simpulan – saya kira tidak ada salahnya kalau kita mengevaluasi pengembangan kepemilikan berpikir kritis yang lebih detail. Lebih terbaca secara transparan.

Biarlah Ujian Nasional Berbasis Komputer berjalan terus, lengkap dengan kecanggihan teknis kecepatan hasil penilaiannya – namun imbangan penerapan evaluasi dengan soal-soal model esai perlu digalakkan. Setidaknya dalam evaluasi berlabel ulangan harian, tengah semester sampai ujian semesteran. Kita sadar bahwa mengoreksi hasil pekerjaan peserta didik dengan menggunakan soal esai lebih memberatkan. Namun niat baik guru untuk selalu memperkuat responsibilitas moral tidak boleh goyah dengan gempuran kepraktisan.

Memberi pelayanan yang baik terhadap pelaksanaan berpikir tingkat tinggi tidak harus sepenuhnya dalam bentuk tes esai tertulis – tetapi dapat dilaksanakan dengan teknis lisan. Kita perlu merombak gaya pembelajaran yang terkesan beku/kaku menjadi pembelajaran yang cair dan terbuka. Lontaran-lontaran kritis peserta didik yang diforumkan, diharap juga mampu merangsang sekaligus mendorong kompetensi wicara, berinteraksi, berdiplomasi dan memupuk penguatan mental mereka. Ini penting untuk melengkapi intensitas mobilitas bekerja.

Budi Wahyono

Guru SMKN 7 Semarang

(*)

Berita Terkini