FOCUS

Kunta Jatuh di Tangan yang Salah

Penulis: achiar m permana
Editor: iswidodo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Achiar M Permana wartawan Tribun Jateng

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sinar matahari mendadak redup, suasana berubah menjadi remang-remang. Suasana temaram. Segala sesuatu kemudian terlihat kabur, serbatidak jelas.
Apa dampaknya? Senjata ampuh Kunta Wijayandanu jatuh ke tangan yang salah.

Narada, saat itu turun ke bumi untuk memberikan senjata Kunta Wijayadanu kepada Raden Arjuna. Arjuna bertapa di kaki Gunung Mahameru untuk meminta senjata pusaka, untuk memotong tali pusar Jabang Tetuka. Tetuka ini di kemudian hari menjadi Gatot--Raden Gatotkaca, jenderal perang Pandawa dalam perang besar Baratayudha.

Ora tedhas tapak paluning pande, sisaning gurinda.

Suasana yang temaram, membuat Narada tidak bisa membedakan antara Arjuna dan Karna, yang tengah berada di hadapannya. Atas bantuan Batara Surya, dewa matahari yang merupakan ayah sejati Karna, sang Adipati Awangga sukses mengelabui Narada.

Batara Surya sengaja meredupkan matahari, demi memberi jalan pada Karna memperoleh senjata Kunta, sipat kandel untuk bekal dalam Baratayuda kelak. Terlebih, lantaran lahir dari rahim yang sama, Karna memiliki perawakan--dan tentu juga wajah--yang mirip dengan Arjuna.

"Prekencong, prekencong, pak-pak pong, waru doyong ditegor uwong. Terimalah ini Begawan Ciptaning, gunakan untuk memotong tali pusar jabang bayi Krincing Wesi," kata Narada kepada Karna, yang disangkanya Arjuna.
Tanpa banyak cakap, Karna pun menjemba senjata Kunta. Kemudian dia melesat, bergegas pulang ke Awangga.
Kunta merupakan senjata yang teramat ampuh. Senjata pamungkas. Siapa pun bakal menjumpai Batara Yamadipati, sang malaikat maut, kalau terkena panah itu.

Paparan, atau barangkali lebih tepat curhat, Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, kepada para seniornya, perihal adanya "institusi tertentu" yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal, mengingatkan saya pada tragedi Kunta Wijayadanu. Gatot, dalam silaturahmi dengan purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, 22 September 2017 silam, menyebut, ada institusi di luar TNI/Polri yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata. Dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo pula.

Sontak, kegaduhan pun terjadi ketika rekaman pernyataan Gatot beredar. Video rekaman curhat Gatot itu menjadi viral di media sosial. Menjelma peluru liar.

Sejumlah petinggi negara pun sibuk menjawab, meluruskan, atau mengklarifikasi pernyataan Gatot. Tak kurang Menko Polhukam, Wiranto, merasa perlu untuk menggelar jumpa pers untuk menanggapi isu itu.

"Saya sudah panggil Panglima TNI dan Polri. Ini hanya masalah komunikasi yang tidak tuntas terkait pembelian senjata itu. Setelah saya tanya, saya cek, ini adalah pembelian 500 pucuk senjata dari Pindad untuk sekolah intelijen," kata Wiranto di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Minggu (24/9/2017).

Dua hari kemudian, giliran Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, yang memberikan klarifikasi. Ryamizard menegaskan bahwa Badan Intelijen Negara (BIN) memang membeli 500 pucuk senjata api dari PT Pindad.

Dia menunjukkan lampiran berkas dokumen izin pembelian senjata api yang dikirimkan ke Kementerian Pertahanan pada Mei 2017. Selain ditujukan kepada Menteri Pertahanan, surat permohonan itu juga dikirimkan kepada Panglima TNI.

"Pembelian ini sudah atas izin Menhan jadi tidak ada masalah. Tinggal masalah komunikasi saja," kata Ryamizard.

Menurut Ryamizard, polemik terkait pernyataan Panglima TNI tersebut harus dihentikan. Sebab, hal itu justru akan menimbulkan pertentangan antarinstitusi dan berpengaruh pada sektor pertahanan negara.

"Kalau seperti ini terus, tidak bersatu, negara bisa pecah sendiri. Bubar negara ini. Itu perlunya Menhan bicara. Saya bicara bukan hanya asal ngomong begitu," kata Ryamizard.

Di sisi lain, pengamat militer asal Universitas Indonesia (UI), Connie Rahakundini Bakrie, justru membaca "agenda politik" Gatot. Dia menyayangkan curhatan Gatot, yang antara lain berisi 5.000 pucuk senjata ilegal.

Connie menilai, beberapa kali Gatot melakukan manuver yang membawa TNI berpolitik. "Dalam harapan saya, setoplah Panglima TNI itu menggunakan baju seragam Panglima TNI membuat chaos semacam ini. Dia senang sekali menggunakan drama politik," kata Connie dalam talkshow Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Senin (25/9/2017).

Bisa jadi--bisa jadi lo--Jenderal Gatot tidak ingin ada senjata beredar di tangan yang salah. Soal hidden agenda, wallahu a'lam, hanya sang jenderal dan Tuhan yang tahu persis.

Kembali ke soal senjata, jangankan 5.000 pucuk, 500, 50, atau bahkan cuma lima pucuk senjata sekalipun harus jelas peruntukannya. Bukankah setiap peluru pun harus dipertanggungjawabkan.
Kalau senjata-senjata itu jatuh ke tangan yang salah, seperti halnya Kunta Wijayadanu, piye jal? Kalau jatuh ke tangan teroris? Kalau jatuh ke tangan PKI?

"Halah, cangkemmu ah, Kang," sahut Dawir, sedulur sinarawedi saya, persis dari belakang tengkuk saya. Tiba-tiba. (Tribun Jateng/Achiar M Permana)

Berita Terkini