TRIBUNJATENG.COM - Memperingati maulid Nabi Muhammad (12 Rabi’ul Awal 1439 H), ratusan warga kota Surakarta menggelar acara bersholawat. Pagelaran sholawat diselengarakan oleh Jama’ah Muji Rosul (JAMURO Surakarta) di berbagai masjid-masjid di Surakarta terhitung sejak 19 November sampai 30 November 2017.
Bersholawat menjadi acara perayaan warga surakarta demi memperingati kelahiran Nabi Muhammad serta perjuangan dakwah dalam menyebarkan agama Islam. Bersholawat tampaknya sudah menjadi tradisi budaya masyarakat Surakarta.
Kegemaran masyarakat surakarta membudaya bersholawat dan pengajian mampu menjadikan simbol dalam menciptakan Islam humanis. Kita bisa melihat tatkala ratusan orang berkumpul demi menyanyikan syair-syair barzanji karya Syekh al-Barzanji ulama abad ke-17 yang berisi pujian-pujian untuk sang Rasul.
Kesejarahan peringatan maulid dalam Islam berawal sejak abad ke-8 dan mulai tersebar di timur tengah, barat, asia tenggara dan India. Perkembangan peringatan maulid disetiap negara maupun daerah memiliki beragam cerita. Di Surakarta misalnya, selain kegemaran Jamuro melantunkan syair dan pujian, peringatan maulid juga dirayakan Keraton Kasunanan Hadiningrat.
Perayaan itu adalah sekaten. Halaman masjid Agung Surakarta menjadi sarana sekatenan dalam menciptakan kebersamaan dan keberagaman antara penjual-pembeli di kota Surakarta. Masyarakat Surakarta begitu antusias dalam merayakan sekaten itu. Kemeriahan itu bisa kita lihat dikala halaman masjid hingga alun-alun utara dipadati para penjual makanan dan aneka kerajinan. Penjual dan pembeli berkumpul untuk memeriahkan acara itu demi mengenang hari kelahiran Rasulullah secara kebersamaan.
Meski memperingati maulid dengan budaya sekaten itu lebih tampak bersifat ekonomis, namun manfaat perayaan itu mampu mempertemukan berbagai etnis dalam kultur sosial masyarakat Surakarta. Tentu dalam acara itu diharapkan mampu menumbuhkan rasa kasih sayang, tolerasi, dan kekeluargaan antar umat beragama yang turut merayakannya.
Perayaan jelas bukanlah sebatas simbolisme untuk berpesta. Namun perayaan maulid telah menjadi tradisi kepercayaan warga Surakarta untuk mengenang kembali kehidupan, perjuangan, sekaligus memaknai keberislaman dengan menjunjung budaya lokal.
Berpuisi
Peringatan maulid memang memiliki beragam cerita dalam kesejarahan Islam. Di Timur Tengah pembacaan puisi pernah menjadi cara dalam memperingati maulid. Dalam buku Muhammad Abdullah Enan berjudul Biografi Ibnu Khaldun (2013) mengisahkan lika-liku kehidupan bapak sosiologi dunia. Sekitar abad ke-8 di Afrika Utara, Ibnu Khaldun pernah merayakan maulid dengan berpuisi. Ibnu Khaldun adalah seorang intelektual yang gemar pula dalam bersyair. Syair-syair itu lantas pernah dibacakan tatkala memperingati maulid pada 736 H untuk dipersembahkan kepada Sang Sultan.
Kita masih bisa membaca puisi Ibnu Khaldun itu: “Mereka dengan kejam meninggalkan dan menyiksaku/ dan membiarkanku lama menangis dan meratap/ pada saat berpisah mereka enggan memberi waktu sedikit pun/ untuk mengucapkan selamat berpisah kepada pecinta yang sedih/ oh, selama berhari-hari mereka berpisah/ mereka membiarkan detak jantungku terbakar cinta/iring-iringan mereka tidak tampak lagi dan air mataku tetap mengalir.
Puisi itu tampak mengisahkan kepedihan dan perjuangan. Kepedihan yang terkandung dalam puisi itu mampu membuat Sang Sultan meneteskan air mata. Dalam puisinya, Ibnu Khaldun ingin mengajak kita untuk merenungi makna, waktu, dan perpisahan terhadap Nabi Muhammad.
Puisi Ibnu Khaldun terasa memiliki spiritual sastra sufistik yang hampir setara dengan karya sastra Syekh al-Busyairi (1212-1309) berjudul al-Qasidah al-Burdah. Selain Ia juga seorang sastrawan sufi, Syekh al-Busyairi juga gemar memperingati maulid dengan puisi berestetika religius seperti Ibnu Khaldun.
Berbagai puisi juga hadir dalam buku Abdul Hadi W. M. Berjudul Islam cakrawala estetik dan budaya (2000). Abdul Hadi dalam bukunya memberikan informasi kesejarahan peringatan maulid dengan ceramah dan berpuisi dimulai sejak abad ke-8 M. Dalam Islam peringatan kisah maulid berawal dari ibunda Khalifah Harun al-Rasyid, bernama siti Zainab yang gemar mendengarkan kisah spiritual Muhammad tatkala sedang berhaji.
Ceramah-ceramah di tanah Mekah senantiasa menyanyikan syair untuk mengetuk hati (jamaah haji) agar mengingat belantara kehidupan yang dialami Rasulullah. Syair itulah menjadi pertanda memperingati kelahiran kekasih Tuhan. Di samping itu, syair-syair telah dikembangkan oleh para ulama diseluruh Timur Tengah, asia tenggara, India hingga menjadi beragam.
Selain di Timur Tengah, Abdul Hadi W.M juga menjelaskan perkembangan perayaan maulid dengan puisi pernah terjadi di Indonesia. Sejak para ulama timur tengah berdakwah menyebarkan agama Islam, mereka juga menyebarkan tradisi dan budaya mereka di Indonesia.
Salah satunya adalah tradisi berpuisi (syair) dalam memperingati maulid. Kita bisa lihat dalam kitab Barzanji karya Syekh al-Barzanji yang sering digunakan untuk bersholawat masyarakat Surakarta. Karya itu pernah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Syu’bah Asa pada 1969.
Tak hanya itu, puisi dalam terjemahan ini pernah dibacakan Rendra di kala pementasan dalam menggelar peringatan maulid.”Terbit purnama di tengah kita/ Maka silamlah semua purnama/ Bagai cantikmu tak pernah kupandang/ Aduhai wajah kegembiraan/ Engkau mentari purnama/ Engkaulah cahaya di atas cahaya/ Engkaulah iksir tidak terperi/Engkau pelita di tiap dada/ Duhai kekasih, duhai Muhammad/ Duhai mempelai pendebar kesumat/ Duhai Muayyad, duhai Mumajjad/ Duhai sang iman kedua Kiblat!”
Berpuisi menjadi doa-doa untuk memuji Rasulullah. Selain puisi, bersholawat dan sekaten juga telah menjadi tradisi masyarakat Surakarta yang digelar untuk mengenang kisah perjuangan Nabi Muhammad. Acara itu diselenggarakan bukan untuk menambah perkara pembid’ahan dalam beragama. Namun pagelaran itu hanyalah ikhtiar masyarakat Surakarta dalam memberikan penghormatan serta pujian kepada Nabi Muhammad. Semoga adanya peringatan maulid dengan cara berpuisi, bersholawat dan sekaten mampu menambah takwa dan keimanan kita dalam memuliakan Nabi Muhammad. Allahuma...(*)
M Taufik Kustiawan,
Mahasiswa IAIN Surakarta, Jurusan Hukum Pidana Islam, bergiat Tadarus Buku di Serambi Kata