Oleh Riya Pramesti, SS, S.Pd
Guru Bahasa Jawa di SMP Islam Terpadu PAPB Semarang
TRIBUNJATENG.COM - April selalu identik dengan peringatan hari Karini. Tepatnya tanggal 21 April seluruh wanita setanah air mengapresiasi hari kelahirannya. Tokoh wanita dari Jepara ini memang terkenal dengan perjuangannya dalam mengubah nasib kaum perempuan Indonesia. Kartini memandang banyak sekali ketimpangan antara wanita pribumi dengan wanita Eropa pada masa itu.
Gadis-gadis Eropa dengan leluasa dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya sementara gadis pribumi tidak demikian adanya. Tidak boleh berpendidikan tinggi, hanya diizinkan berbekal ilmu agama, mengenyam keterampilan mengurus rumah dan suami saja, serta dibatasi ruang gerak dalam pergaulannya.
Hubungan dengan saudara apalagi kedua orang tua juga sangat dibatasi (baca dipingit). Bukan karena tak ingin dekat satu dengan lainnya, melainkan adatlah yang mengaturnya. Layaknya seorang gadis remaja pada umumnya, Kartini ingin bermanja dengan ibunya untuk mencurahkan isi hati dan atau berbincang-bincang. Lagi-lagi aturan adat yang kaku menentang.
Harus ada jarak antara orang tua dan anak. Mereka tidak boleh dekat layaknya teman, seperti hubungan keluarga ala orang Belanda. Demikian ketat peraturat adat yang mengikat maka tak jarang Kartini berusaha mencuri-curi kesempatan untuk sekadar bisa melihat ibundanya. Ia selalu beralasan menyirami pohon kantil di belakang rumah yang dekat dengan ruang tidur ibunya. Melihat kesenjangan yang ada M.A. Ngasirah sangat sedih karena sebagai ibu ia pun tak berdaya melihat putrinya diasingkan darinya dan dunia luar.
Hidup dalam pingitan membuat gadis yang kritis itu serasa ada di sangkar emas. Belum lagi pembedaan status antara pria dan wanita semakin membuat anak kelima dari R.M. Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah ini geram untuk segera mengubah nasib kaumnya. Wanita adalah calon ibu yang nantinya akan mengasuh putra-putrinya. Jadi selain mempunyai wawasan dan pandangan luas, paham tentang agama, pandai mengurus rumah, mereka juga harus cerdas dalam mendidik anak-anaknya kelak.
Dia mencari cara agar kondisi gadis-gadis pribumi yang minim pendidikan dan terjerat aturan adat bisa diperbaiki. Melalui surat-surat yang dikirim kepada para sahabat di Belandalah, Kartini berusaha mencurahkan gagasannya untuk mengubah nasib kaum wanita Indonesia agar tidak terpinggirkan oleh berkembangnya peradaban zaman. Maka dengan susah payah akhirnya perempuan tangguh ini pun berhasil mendapatkan bantuan mendirikan sekolah keputrian untuk gadis-gadis di lingkungan tempat tinggalnya.
Dewasa ini, berkat Kartini yang menggagas emansipasi, wanita-wanita Indonesia bisa mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, derajat antara pria dan wanita juga sudah sejajar. Tak ada lagi ketimpangan diantaranya. Terbukti banyak sekali wanita-wanita Indonesia berkiprah dibidang ekonomi bisnis, pendidikan, tenaga kesehatan, dinas sosial, kementerian nasional, bahkan menjadi kepala negara. Kita wajib bersyukur bahwasanya sebagai generasi muda, kita tidak lagi dihadapkan pada kekakuan adat dan keterbelakangan pendidikan. Namun ada kalanya muncul problematika baru.
Banyak Kartini-Kartini modern sekarang ini terampil dalam pekerjaan kantornya namun tidak cakap dalam mengurus rumah dan anak-anaknya. Bekal keterampilan yang didapatkan wanita di era Kartini seperti memasak, menjahit, mengaji, dan keterampilan yang lainnya mulai memudar. Karena faktor kesibukan bekerja, banyak pekerjaan rumah tangga yang dipasrahkan pada pembantu. Baju sobek diberikan tukang jahit untuk diperbaiki, urusan mengaji anak-anaknya dipanggilkan guru ngaji tersendiri, cuci baju ada tukang laundry yang siap mencucikan.
Sementara disisi lain, dahulu anak-anak tidak bisa berhubungan dekat dengan saudara dan orang tua memang demikianlah adat yang harus dipatuhi. Sekarang ini, anak-anak tidak bisa dekat dengan orang tua dan saudaranya lantaran mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Hampir dalam tiap keluarga yang berpendidikan tinggi, kedua orang tuanya bekerja. Apalagi jika jarak tempat kerja dan rumah berjauhan.
Tak jarang mereka berangkat dari sebelum anak-anak bangun dan pulang sesudah anak-anak tidur. Sementara anak-anak disekolahkan di sekolah fullday school yang menempuh pendidikan seharian dan atau menyekolahkan pada sekolah formal biasa kemudian melengkapinya dengan les-les privat untuk menghabiskan waktu sehari. Dengan demikian orang tua nyaman dalam melakukan aktivitas pekerjaannya dan antar anggota keluarga hanya bisa berkumpul ketika weekend tiba.
Pernah penulis bertanya pada salah satu peserta didik mengapa sampai menjelang magrib belum dijemput. Ia asyik saja bermain basket sendirian di lapangan sembari menunggu jemputan. Mamah kena macet di jalan katanya. Yang lebih mengejutkan lagi anak tersebut menyampaikan bahwa hampir setiap hari seperti itu. Toh pulang ya mau apa di rumahnya tidak ada orang. Bapaknya dinas ke luar kota, ibunya pulang paling cepat menjelang magrib, kakaknya yang SMA juga entah ngluyur kemana. Bisa saja dia pulang sendiri naik transportasi online tapi dari pada suwung (istilah keren anak muda sekarang menyebut dirinya sendirian).
Belum lagi dengan canggihnya perkembangan teknologi sekarang ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap pergaulan antar anggota keluarga. Orang yang saling berjauhan tempat bisa menjadi dekat dengan adanya aplikasi yang ditawarkan melalui handphone/gadget. Sedangkan para keluarga sukses yang sangat sibuk ketika berkumpul bersama juga semakin jauh hatinya karena terlampau asyik memainkan alat canggih tersebut. Maka tak jarang banyak anak yang tidak membunyai rasa simpati dan empati kepada orang tua, saudara, dan bahkan sesamanya.
Salah satu penyebabnya berasal dari seorang ibu yang barangkali dengan emansipasi yang ia punya sedikit banyak mulai mengesampingkan peran utamanya sebagai madrasah pertama bagi anak mengeyam pendidikan. Lalu, bagaimana kini cita-cita Kartini yang ingin menjadikan wanita Indonesia berpendidikan tinggi dan tetap bisa memperhatikan urusan rumah tangganya? Sudahkah bisa terwujud sesuai yang digagasnya?
Dengan melihat kondisi tersebut sebagai generasi Kartini modern mari bersama-sama berintrospeksi diri untuk menjadi ibu dan atau calon ibu yang cerdas. Tetap berpendidikan tinggi namun tidak mengesampingkan kewajiban mengasuh, mendidik tunas-tunas bangsa yang akan membawa perubahan terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta. Oleh karena peran wanita yang teramat penting dalam kehidupan semoga para pemimpin-pemimpin lembaga yang memperkerjakan wanita mampu memandang dengan penuh kebiijakan untuk memperhatikan hak dan kewajiban para pekerja wanita dibawah naungannya. Selamat memperingati hari Kartini wahai para wanita-wanita hebat negeri ini.(*)