Oleh Lala Nilawanti
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Aktif Membaca di Ruang Baca Abdussalam Semarang
TRIBUNJATENG.COM -- Tagar bahasa Anak Jaksel sempat menjadi tranding topik Twitter dan banyak di perbincangan ahli bahasa. Fenomena percampuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris itu muncul karena masyarakat Indonesia mulai tercemar bahasa Inggris yang tidak utuh.
Seserampangan apapun bahasa itu dicampur aduk, anak muda yang menjadi pelaku utama tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Ini merupakan bagian dari upaya generasi muda meraih eksistensi melalui bahasa. Hal ini juga bisa disebut sebagai variasi bahasa berdasarkan faktor usia.
Bahasa memang menjelma menjadi masa kini sekaligus masa lalu yang kerap tidak bisa kita identifikasi secara baik. Dia, bahasa kata Roland Barthes, adalah sebuah mitos. Sebuah dunia acak (chaos) yang mampus-mampusan, dan kita mencoba mengikatnya dalam sebuah keteraturan sementara.
Politik Kata Baku Bahasa Indonesia
Bahasa Anak Jaksel hadir dalam segala bentuk ungkapan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang diramu menjadi satu maksud tuturan. Bahasa Inggris memang mendapat perlakuan istimewa dibandingkan bahasa asing lain. Masyarakat Indonesia rupanya telah menyadari pentingnya menguasai bahasa Inggris. Tetapi, masyakat belum menyadari bagaimana bahasa Indonesia juga bisa hadir gagah layaknya bahasa Inggris.
Ada masalah paling sederhana, misalnya, masyarakat menggunakan bahasa asing untuk obrolan ringan sampai masalah berat, yakni campur kode dengan bahasa Inggris yang dilakukan para pemangku kebijakan. Seperti, terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dimana demi kemudahan dalam iklim bisnis, syarat kompetensi bahasa Indonesia bagi pekerja asing dihapuskan. Ini merupakan bukti kegagalan dalam politik bahasa Indonesia. Artinya, pemerintah belum bisa melihat peluang ketenagakerjaan asing ini sebenarnya dapat dimanfaakan sebagai upaya menginternasionalisasikan bahasa Indonesia.
Berkat statusnya sebagai bahasa resmi, bahasa administrasi, pendidikan, dan media masa nasional, serta prioritas penggunaannya oleh kalangan berkuasa, bahasa Indonesia diuntungan oleh perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia masa kini. Dan, yang membuatnya dengan amat perlahan memasuki bidang percakapan tak resmi. Atas ketidak seriusan tersebut, bahasa Indonesia mudah tercemar bahasa asing. Soal kata baku dan tidak baku telah selesai pada tataran resmi dan tidak resmi tetapi masih ada masalah kaitannya dengan campur kode dengan pemilihan bahasa Inggris.
Upaya yang dilakukan badan bahasa cukup tanggap menanggani hal tersebut. Berdasarkan syarat kosakata yang paling banyak digunakan masyarakat, istilah asing tersebut menjadi kata baku yang disesuaikan pelafalan atau karakter bahasa Indonesia. Akan tetapi, tidak sedikit pula istilah yang dibakukan justru tidak populer dalam percakapan masyarakat Indonesia. Ini soal kebiasaan. Benar kata Hasan Aspani, kita gagal mengembangkan bahasa Indonesia jika yang terbentuk adalah kesan bahwa bahasa ini rumit, sulit, kaku. Tentu Saja, tata bahasa harus dibakukan dan aturan-aturan yang ajek harus diupayakan dan aturan-aturan yang ajek harus diupayakan terus menerus.
Kukuhkan Kongres Bahasa
Bulan Oktober sudah didepan mata. Bulan ini menjadi saksi bisu sumpah pemuda lahir untuk Indonesia. "Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia" hal ini jelas dalam sumpah pemuda sebagai amanat bangsa. Artinya, Bahasa Indonesia memang menjadi pemersatu bangsa atas berbagai macam bahasa yang dimiliki masyarakatnya.
Sebagai bagaian dari sumpah pemuda, amanat bahasa memilki proteksi tersendiri untuk generasi muda. Jerome Samuel, pernah menyebutkan bahwa pengggunaan bahasa Indonesia meluber melampaui gedung sekolah. Akan tetapi, dari sana pula semua fenomena ajaib terjadi. Banyak kecenderungan yang dapat dijelaskan lewat hasrat untuk melepaskan diri dari kengkungan sosial dan undak-usuk bahasa. Ditambah, adanya tarikan sebuah bahasa yang gengsinya sudah tak perlu dipersoalkan lagi, termasuk ragam "rendah" atau tidak resminya yang terwujud, misalnya dalam bahasa Anak Jaksel. Pada kenyataannya, penggunaan bahasa indonesia di luar sekolah lebih menguntungkan bahasa Anak Jaksel dari pada bahasa Indonesia baku yang diajarkan.
Atas amanat bangsa itu pula, bulan oktober ini bertepatan dengan Kongres Bahasa Indonesia XI 2018. Dengan mengusung tema "Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia" kongres kali ini benar-benar menciptakan terobosan jitu bahasa Indonesia untuk semakin mengharmonisasi masyarakatnya. Kongres ini bisa menjadi momentum bagi bangsa Indonesia kembali serius merumuskan formula bahasa persatuan yang semakin baik. Bahasa nasional jangan kehilangan jati dirinya. Penyerapan unsur bahasa asing harus mempertajam daya ungkap pemakai bahasa Indonesia dan harus memungkinkan seseorang menyatakan isi hati secara tepat dan cermat. (*)