Diceritakan lebih lanjut, usai divonis positif HIV/AIDS, secara psikologis ia benar-benar drop, hancur. Selama seminggu, ia hanya bisa meratapi nasibnya.
Selain ajal, ia juga selalu terbayang bagaimana nasib dan masa depan anak semata wayangnya.
"Yang pertama kali tahu saya positif adalah ibu, karena waktu pas VCT, dokter minta ada keluarga, hendak diberi pengertian," ucapnya.
Selanjutnya, ia mulai berani memberi tahu sahabatnya sesama guru di sekolah tempatnya mengajar. "Saya diam, mengurung diri, ternyata tak menyelesaikan masalah," sambung dia.
Tak lama kemudian, pada Januari 2013 kondisi kesehatan Anik semakin drop, didera TBC dan penyakit ikutan lainnya. Ia pun harus menjalani perawatan di RS Kariadi.
"Saat itu, teman-teman dari sekolah datang, memberi support dan mendukung saya," ucapnya.
Anik beruntung. Keluarga dan orang-orang di sekitarnya selalu memberi dukungan dan support, tak ada perlakuan diskriminatif yang ia terima dari lingkungan sekitar. Sehingga menguatkan semangat dan ia kembali bergairah menjalani hidup.
"Ketakutan berlebihan akan kematian segera yang menghampiri, pelan-pelan terkikis. Selain dukungan keluarga dan teman-teman, bayang-bayang anak yang selalu ada di depan peulupuk mata yang turut menguatkan saya," tutur anak kedua dari empat bersaudara itu.
Menikah dengan Ahmadi
Semangat hidup Anik makin bangkit saat bertemu pria bernama Ahmadi.
Ia mendapat dukungan spesial dari Ahmadi (44) lelaki asal Mranggen, Demak. Ahmadi memantapkan hati mempersunting Anik di saat perempuan tersebut berada di titik nadir kehidupan.
Keduanya pun melangsungkan akad pernikahan di Klaten, tempat asal Anik, meski baru sekitar satu bulan berkenalan.
"Saya kenal lewat seorang teman. Saya tahu kondisi Anik, saya menikahinya dengan penuh kesadaran," tutur Ahmadi.
Sesaat setelah akad nikah, masih belum beranjak seusai mengucap ijab-kabul, Ahmadi langsung mengumumkan bahwa Anik positif terinveksi HIV/AIDS.
Sebuah langkah, yang diakui, bisa jadi mengherankan dan mengagetkan bagi sebagian besar orang.