Oleh Dr E Chrisna Wijaya
Dosen Teologi dan Kepemimpinan
Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Internasional Harvest Semarang
TRIBUNJATENG.COM -- ISTILAH “megalomania,” merupakan istilah yang mungkin tidak lazim atau tidak akrab di pendengaran masyarakat awam. Dunia psikologi menamai istilah itu dengan Narcissistic and Borderline Personality Disorder, yaitu suatu gejala penyimpangan atau gangguan jiwa yang ditandai dengan fantasi hebat atau perilaku gaya hebat (tetapi realitanya tidak benar), ingin dipuja dan si penyandang mengalami gangguan empati (Van Tiel – Kompasiana.com, 23/9/2010).
Hal yang perlu mendapat perhatian dari pemahaman di atas adalah bahwa; meskipun si penderita disebut mengalami “gangguan jiwa,” namun orang yang mengalami gangguan atau penyimpangan tersebut, tidak dapat dikategorikan atau disamakan dengan “orang gila”. “Gangguan jiwa,” yang dimaksudkan adalah, sekalipun sampai dengan tahap gangguan jiwa berat, namun memiliki arti bahwa si penderita mengalami gangguan dalam fungsi sosial dengan orang lain, serta dalam hal fungsi kerja sehingga yang bersangkutan tidak produktif (bbc.com, 4/10/2011 – dr Tun K Bastaman, Ketua PDSKJI).
Sementara istilah “gila,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal).” Indikator atau ciri-ciri dari seseorang yang mengalami megalomania adalah bahwa orang tersebut tidak dapat dikritik, arogan atau sewenang-wenang, egois, merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling penting, rasa berbangga diri yang berlebihan, dan diktator, serta keinginannya hanyalah untuk mendengarkan hal-hal yang menyenangkan telinga dan hatinya.
Pada berbagai bidang, baik itu pemerintahan, dunia bisnis, lembaga pendidikan, lembaga masyarakat, organisasi keagamaan, rumah tangga dan semua area kehidupan, membutuhkan keberadaan seorang pemimpin. Isu atau masalah megalomania, merupakan salah satu ancaman dan bahaya besar dalam dunia kepemimpinan. Penyimpangan itu dapat mendatangkan kerugian besar bagi organisasi maupun bagi diri pemimpin itu sendiri.
Mendatangkan ancaman, karena kondisi tersebut akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan perasaan takut bagi sebagian pengikutnya atau bahkan dapat memunculkan para oportunis, yaitu orang-orang yang selalu melihat dan memanfaatkan kesempatan untuk mendatangkan kebaikan atau keuntungan bagi diri pribadi, dengan memberikan informasi-informasi yang tidak sebenarnya dengan tujuan asal bapak senang (ABS) dan suka melakukan hal-hal untuk mencari muka atau pun pujian (penjilat).
Hal itu, tentunya dapat memberikan efek domino yang tidak baik bagi sebuah organisasi maupun sebuah bangsa yang memiliki pemimpin yang demikian. Situasi yang tidak nyaman dan penuh dengan atmosfer ketakutan, dalam hal ini takut tersingkir karena tidak dapat mengikuti gaya dan pola pikir pemimpin yang megalomania, akan membuat seseorang (pengikut) menjadi tidak maksimal dan tidak produktif dalam bekerja, sehingga mempengaruhi kinerjanya. Sebaliknya orang-orang yang ABS akan selalu memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan diri pribadi dengan mencari celah dalam hal menyenangkan hati junjungannya.
Orang-orang yang demikian tentunya juga tidak memberikan hasil yang baik bagi organisasinya, maka pada akhirnya, organisasi pula yang mengalami kerusakan/kerugian. Kerugian besar juga akan dialami oleh seorang pemimpin megalomania, jika tidak segera menyadari dan memulihkan diri dari keberadaan tersebut. Pemimpin megalomania akan ditinggalkan oleh orang-orang yang mempercayainya dan orang-orang kepercayaannya.
Kehilangan orang-orang yang dapat diandalkan, adalah kerugian besar bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang memiliki ciri-ciri megalomania mungkin dapat mengendalikan semua orang di sekelilingnya dengan begitu ketat, namun orang yang demikian tidak dapat mengendalikan nafsunya sendiri (Hans Finzel, 2002). Itulah sebabnya, tantangan dan kebutuhan terbesar dalam dunia kepemimpinan bukanlah uang, program-program sosial atau bahkan pemerintahan yang baru, melainkan keberadaan kepemimpinan yang berkualitas, bermoral, berdisiplin dan berpusat pada prinsip kebenaran.
Dunia politik, agama, bisnis, pendidikan, olah raga atau apapun itu, membutuhkan pemimpin yang sejati, yang cakap, memiliki prinsip, memiliki kepekaan, penuh belas kasihan, serta memiliki kesadaran rohani (Myles Munroe, 2008). Seorang pemimpin yang menjalankan sebuah amanat , semestinya harus berkata, “Saya tunduk terhadap amanat ini. Anda (pengikut) ada bukan untuk melayani saya. Anda tidak perlu membuat saya senang. Dan jangan beri saya tanggung jawab kecuali saya bisa memenuhi amanat itu” (Fred Smith, Sr., 2002). Seorang pemimpin dalam bidang apapun, yang melaksanakan amanat dengan penuh tanggung jawab adalah seorang pemimpin yang memimpin dengan tujuan bukan untuk mendapatkan popularitas atau keuntungan dan kesenangan pribadi maupun golongan, melainkan untuk melaksanakan dan memenuhi amanat tersebut. (*)