TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Kepala Urusan (Kaur) Keuangan Desa Ngabean, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Tri Handayani mengaku diminta menerima pungutan Rp 100 ribu dari warga peserta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) saat mereka mengambil sertifikat.
Perintah ini datang langsung dari Kepala Desa Ngabean Supriyanto yang kini duduk sebagai terdakwa kasus dugaan pungutan liar (pungli) program PTSL.
Keterangan ini disampaikan Handayani saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Selasa (11/2).
Selain diperintah kades agar menerima pungutan Rp 100 ribu dari warga, kepala dusun (kadus) juga memberitahukan ke warga agar membawa uang Rp 100 ribu saat mengambil sertifikat.
"Ada undangan untuk warga yang sertifikatnya sudah jadi.
• Berita Viral: Dua Guru SMA Duel di Dalam Kelas Disaksikan Para Siswanya, Ini Kronologinya
• Ghea Youbi Dekat dengan Pemain Persib Bandung, Sisipkan Gamelan Sunda di Single Barunya
• Korban Meninggal Tembus Seribu Lebih, Benarkah Indonesia Masih Negatif Kasus Corona? Ini Kata Menkes
• FOKUS : Nurul dan Kepedulian Sosial
Tapi, sebenarnya, tidak ada pencantuman tambahan biaya Rp 100 ribu," terang Handayani di hadapan sidang yang diketuai majelis hakim Aloysisius Priharnoto Bayuaji itu.
Menurut Handayani, sosialisasi program PTSL dilakukan dua kali, yakni Januari 2018 kepada lebih dari 1000 warga desa.
Selain perangkat desa, sosialisasi ini juga dihadiri Polsek, Koramil, dan BPN.
"Dalam sosialisasi itu, dirembug bareng warga, biaya pendaftaran PTSL. Ditawarkan dari Rp 500 ribu, Rp 550 ribu, sampai Rp 600 ribu.
Kemudian, warga memilih Rp 500 ribu," imbuhnya.
Dalam menjalankan tugas terkait program PTSL atau yang sebelumnya bernama proyek operasi nasional agraria (Prona) itu, Handayani mengaku menerima upah Rp 750 ribu dari kades.
"Dari Januari sampai Juli 2018, total saya mengumpulkan Rp 200 juta dari uang PTSL yang saya urus," imbuhnya.
Saat operasi tangkap tangan (OTT) dugaan pungli pada Februari 2019, polisi menyita uang Rp 3,1 juta dari Handayani. Uang ini diduga pungutan dari warga yang mengambil sertifikat.
Selain Handayani, sidang juga menghadirkan saksi Kaur Umum Desa Ngabean Sigiharsono.
Sigiharsono mengaku, dalam PTSL, dia mendapat upah Rp 450 ribu dari kades.
"Setahu saya, uang pendaftaran PTSL Rp 500 ribu itu digunakan untuk biaya lembur, beli materai, beli patok, dan transportasi ke kantor BPN.
Yang membeli patok Pak Kades sedangkan materai Bu Sekdes (carik)," ungkap Sugihartono.
Menurutnya, secara keseluruhan, dia menerima uang PTSL Rp 52 juta dan Rp 110 juta dari uang surat asal usul tanah. Uang Rp 110 juta kemudian ia berikan ke kades.
Sigiharsono mengatakan, ada delapan dusun di Desa Ngabean yang mengikuti program ini.
Namun, dia tak menerima keluhan dari warga terkait biaya pungutan pembuatan sertifikat itu.
Selain biaya pengambilan sertifikat, diduga ada pungutan lain dalam program PTSL ini, yakni saat tahap pendaftaran dan pengurusan surat asal usul tanah.
Sebelumnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri BPN/ATR, Menteri Desa, dan Menteri Dalam Negeri RI No 25/SKB/V/2017 No 590.31674 Tahun 2017 dan No 34 Tahun 2017, biaya PTSL di Jawa Bali ditetapkan Rp 150 ribu setiap bidang tanah. (adl)
• Semifinal Coppa Italia: Inter Milan vs Napoli, Pertarungan Bak Bumi dan Langit
• Gebby Vesta Sindir Lucinta Luna: Laki-Laki Harus Kuat ya!