Human Interest Story

Kisah Abu Rokhmad Guru Besar Termuda UIN Walisongo, Pernah Nguli Bangunan dan Jadi Marbot

Penulis: rustam aji
Editor: Catur waskito Edy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abu Rokhmad

TRIBUNJATENG.COM -- Untuk meraih gelar profesor sungguh tidak mudah. Selain butuh waktu lama juga melalui sidang berkali-kali di Kemenag maupun Kemendikbud.

Setelah 3 tahun proses pengurusan, akhirnya Abu Rokhmad dosen FISIP UIN Walisongo raih gelar Profesor.

Hari ini Kamis (20/2), Rektor UIN Walisongo akan mengukuhkan Abu Rokhmad sebagai guru besar bidang ilmu sosiologi hukum pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).

Abu Rokhmad merupakan guru besar pertama di FISIP dan guru besar termuda di UIN Walisongo. SK guru besar Nomor 35227/M/KP/2019 tertanggal 15 Oktober 2019 telah diterima pada November 2019 lalu.

Sebagian calon guru besar mungkin butuh sekitar 3-4 bulan untuk mengurusnya.

Tetapi Abu Rokhmad butuh waktu sekitar 3 tahun. Proses pengajuan untuk menjadi guru besar (profesor) dimulai sejak 2016 lalu.

Menurutnya, pengurusan guru besar di Jakarta harus melalui dua pintu. Pintu yang pertama disidang 2 kali di Kemenag. Setelah itu mengikuti sidang 7 kali di Kemendikbud.

"Kalau dihitung, lebih dari 3 tahun proses SK guru besar baru bisa turun. Alhamdulillah, proses panjang itu akhirnya membuahkan hasil," terang Abu Rokhmad di sela mempersiapkan acara pengukuhan.

Dengan pengukuhan ini, Abu Rokhmad menjadi guru besar pertama di FISIP sekaligus profesor termuda di UIN Walisongo.

Bagi Abu Rokhmad, pencapaian jabatan guru besar ini sesungguhnya merupakan keberuntungan yang tidak pernah disangka.

Sebab masih banyak dosen senior yang lebih layak dari sisi ilmu untuk memperoleh anugerah tersebut.

Ia merasa belum pantas menyandang gelar tersebut. Ia alumni dari kampus biasa, bukan kampus prestisius.

Jangankan memilih kampus favorit, untuk asal bisa sekolah (ABS) atau kuliah saja sudah merupakan kemewahan yang luar biasa.

"Saya nyaris tidak mungkin bisa sekolah atau kuliah karena keterbatasan dalam segala hal. Tetapi saya sejak kecil selalu semangat dalam belajar," terangnya.

Sebagai orang kampung, ia dididik kerja keras sejak kecil. Abu Rokhmad menuturkan, yang penting bisa meneruskan sekolah dan kuliah rela melakukan apa saja asal halal.

Dia menuturkan pengalaman masa lalu saat sekolah.

Ketika duduk Madrasah Aliyah kelas 2, dia menjadi marbot masjid (dengan tugas utama adzan, menyapu dan mengepel lantai dan bersih-bersih kaca).

Pada sore harinya setelah sekolah formal, ia mulang ngaji (mengajar) TPQ di kampung.

Begitu pula pada saat kuliah di Surabaya, ia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Awalnya, ia kerja sebagai kuli bangunan dan kemudian menjadi staf administrasi di kantor konsultan konstruksi.

"Dari kesungguhan belajar dan ikhtiar itu kini membuahkan hasil. Meski kita berasal dari keluarga sederhana, jangan takut untuk bermimpi tinggi. Raih cita-cita dan jangan pernah berputus asa untuk mewujudkannya," tutur Abu Rokhmad (44).

Dosen kelahiran Jepara, 7 April 1976 ini akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar dengan judul "Kemunduran Demokrasi dan Penegakan Hukum Profetis: Perspektif Sadd al-Dari’ah".

Ayah empat anak dari pernikahannya dengan Faizah Cholil Tsuwoibak (putri almarhum KH Cholil Bisri, pengasuh Ponpes Roudlotut Tholibin Leteh Rembang) ini alumni MTs dan MA Muallimin Muallimat Rembang.

Sarjana S1 syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya, S2 Magister Agama dari UMM dan gelar S3 (doktor) dari Ilmu Hukum Undip.

Dia masih aktif di MUI dan FKUB Jateng, serta Lembaga Bahtsul Masail NU Kota Semarang.

Pidato ini akan menjelaskan perkembangan demokrasi mutakhir di Indonesia, yang diindikasikan sedang mengalami kemunduran (democratic regression).

Kemunduran demokrasi dicirikan dengan dua hal. Pertama, pemilu diselenggarakan secara rutin namun penuh kecurangan dan manipulatif. Pada poin ini, Indonesia tidak mengalaminya.

Kedua, pemilu memang masih berlangsung, tetapi kebebasan sipil (civil liberties) tidak dihormati sepenuhnya.

Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan berkumpul masih terkekang, diskriminasi terhadap minoritas masih terjadi, membangun rumah ibadah dipersulit dan lain-lain merupakan contoh indikasi kemunduran demokrasi.

Apa yang bisa dilakukan agar kemunduran demokrasi tidak berlanjut? Negeri ini membutuhkan, salah satunya, penegakan hukum profetis.

Yakni, suatu tipe penegakan hukum yang tidak biasa, selain bersendikan progresifitas juga berasaskan transendensi (Ilahiyah).

Untuk dapat melakukan penegakan hukum profetis, penegak hukumnya harus memiliki sifat-sifat kenabian yaitu shiddiq (berintegritas), amanah (komitmen), tabligh (transparan) dan fathanah (cerdas).

Kemunduran demokrasi apabila berlangsung terus-menerus maka akan membahayakan bangsa. Yang paling ditakutkan adalah orang jahat bisa terpilih menjadi pemimpin negeri melalui proses pemilu.

Lalu ia akan memimpin secara otoriter dan otomatis demokrasi, bukan hanya mundur tetapi sudah menjemput kematian.

Kemunduran demokrasi harus dicegah karena mendatangkan kemudharatan. Inilah yang disebut dengan sadd al-dariah, yaitu menutup jalan menuju terjadinya kemudharatan. (Rustam Aji)

Berita Terkini