Rika Irawati
Wartawan Tribun Jateng
Tahun ajaran baru dimulai Senin (13/7). Pemerintah daerah di Jawa Tengah memutuskan masih menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) sistem daring. Termasuk, SMA/SMK yang ada di bawah naungan Provinsi Jawa Tengah.
Kalau ada SMA/SMK yang sempat menyelenggarakan masa pengenalana lingkungan sekolah (MPLS), pada akhirnya, mereka melanjutkan lewat sistem daring. Hal ini dilakukan mengikuti surat edaran Dinas Pendidikan Jateng untuk mencegah penularan virus Covid-19 terjadi di lingkungan sekolah.
Sebenarnya, banyak orangtua murid yang menginginkan sekolah tatap muka. Di Kabupaten Semarang, Sekretaris Komisi D DPRD setempat, Joko Sriyono, bahkan menyebut, 80 persen dari orangtua murid yang belajar di 30 SMP wilayah tersebut, menginginkan anak-anak mereka kembali belajar di sekolah. Alasannya beragam.
Meski begitu, permintaan mereka tak langsung diluluskan. Bahkan, sekolah di zona hijau pun tak bisa membuka kelas tatap muka setiap hari. Mereka harus masuk kelas secara bergantian. Jam pelajarannya pun dipangkas hingga lebih dari separo dibanding sebelum terjadi wabah corona.
Namun, bukan ini saja yang menjadi persoalan. Belajar secara daring membutuhkan sarana dan prasarana mumpuni. Setiap siswa, paling tidak, harus memiliki perangkat gawai semisal laptop dan telepon pintar yang terhubung dengan internet. Dan tidak semua siswa, memiliki.
Bagi siswa yang masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), hal ini tidak menjadi persoalan. Karena biasanya, tugas siswa diberikan lewat Whatsapp group orangtua murid. Berbeda jika ternyata, orangtua siswa tak memiliki perangkat yang dimaksud.
Begitu pula, ketika beberapa siswa SMP dan SMA sederajat, ternyata juga tidak memiliki smartphone atau laptop. Pun, koneksi internet yang baik untuk memudahkan mereka belajar secara daring.
Hal ini harus menjadi perhatian sekolah. Layaknya mereka menyediakan sarana dan prasarana nyaman di sekolah, kepala sekolah dan guru harus memastikan, anak didik mereka juga memiliki media tepat untuk belajar.
Apalagi, dalam sistem zonasi, paling tidak, setiap sekolah memiliki 15 persen kursi untuk siswa afirmasi yang di antaranya dari keluarga kurang mampu. Sekolah harus benar-benar memastikan, mereka mendapatkan hak mendapat materi pelajaran sama seperti siswa lain yang memiliki sarana dan prasarana mandiri yang lebih lengkap.
Beberapa sekolah memang menyatakan komitmen menerjunkan guru ke rumah-rumah siswa yang tak memiliki gawai untuk memberi tugas. Ada pula yang meminjamkan perangkat ke siswa dari kalangan kurang mampu. Namun, tak semua guru memiliki kemauan untuk melakukan tugas ini.
Apalagi jika sekolah dan rumah siswa berada di wilayah pegunungan atau pelosok.
Karena itu, memastikan siswa bisa belajar daring dengan nyaman dan lancar bukan hanya tugas sekolah. Semangat gotong royong yang diluncurkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lewat Jogo Tonggo di tengah pandemi corona, seharusnya tidak hanya berlaku untuk memastikan tetangga terdampak wabah ini berkecukupan dalam hal pangan. Memastikan siswa di sekitar rumah kita memiliki gawai layak untuk belajar daring juga harus mengetuk hati kita.
Kalaupun tidak bisa membelikan atau memberikan smartphone mumpuni, kita bisa meminjamkan saat belajar daring dilaksanakan. Atau, memberi bantuan kuota internet bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
Memang, wabah ini menunjukkan betapa kesenjangan pendidikan masih terjadi di wilayah kita. Negara terbukti belum bisa sepenuhnya menjalankan amanat undang-undang untuk memastikan setiap anak-anak usia sekolah mendapat hak pendidikan mereka. Namun, kita bisa mulai ambil bagian untuk mulai peduli. (*)
• Wanita Tanpa Busana Muncul saat Webinar, Ini Klarifikasi Dosen Uncen
• Bayi Lahir Tanpa Kepala, Si Ibu Berusaha Melahirkan Sendirian Tanpa Bantuan
• Hasil Liga Italia Tadi Malam Sassuolo Vs Juventus, Gol Alex Sandro Selamatkan Si Nyonya Tua
• Hasil Liga Inggris Tadi Malam Newcastle Vs Tottenham, The Lilywhites Lanjutkan Tren Kemenangan