TRIBUNJATENG.COM, PATI - Menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober, Tribunjateng.com menyajikan reportase kiprah santri di Jawa Tengah.
Kali ini, Tribunjateng.com menyajikan kisah seorang santri alumnus Pesantren Asrama Pelajar Islam Kauman (APIK) Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Pati, yang berkiprah di bidang desain grafis.
Sebagai santri, Mohammad Zuli Rizal (31) mulanya sempat bimbang untuk menekuni minat dan bakatnya di bidang seni visual, terutama menggambar.
Sebab, menurutnya, awal tahun 2000-an, masih ada anggapan bahwa santri yang menyukai seni, terlebih gambar-menggambar, ialah santri nyeleneh.
Namun, Zuli bersyukur, dalam perjalanan hidupnya ia dikelilingi orang-orang yang membuatnya yakin untuk menjadikan dunia desain grafis sebagai jalan hidupnya.
Ia menyebut, orang pertama yang mendukung minatnya ialah kedua orang tuanya, yakni Sholihin dan Almarhumah Jamilatun.
“Ibu dan bapak saya adalah yang paling berperan menemukan bakat saya. Waktu saya kecil, Bapak saya setiap pulang kerja selalu membawakan majalah donal bebek. Bapak saya pulang sebulan sekali karena beliau bekerja sebagai sopir bus di Jakarta,” terang putra pertama dari tiga bersaudara ini.
Zuli mengatakan, majalah yang dibawakan sang bapak berbahasa Inggris. Ia tak mengerti artinya, namun gambar-gambar yang ada di dalamnya merangsang imajinasinya. Ia kerap menirukan gambar karakter-karakter dalam majalah tersebut.
“Saya gambar di buku. Selain itu juga saya gambar di ubin atau tembok menggunakan kapur. Dulu ibu saya sering membelikan kapur. Kalau Mbah saya ke pasar, saya juga selalu minta oleh-oleh kapur, bukannya jajan,” kata suami dari Viki Nur Aini ini.
Menyadari bahwa bakatnya ada di bidang ini, Zuli sempat ragu ketika setelah lulus SD, orang tuanya hendak memondokkannya di Kajen.
“Saya ragu karena menyadari bakat saya di bidang umum. Namun, Ibu ingin saya punya pondasi agama yang kuat. Akhirnya saya menurut, dengan niat berbakti pada orang tua,” ungkap pria asal Desa Lundo, Kecamatan Jaken, yang kini bermukim di Desa Kajen ini.
Akhirnya, Zuli pun mondok di Pesantren Asrama Pelajar Islam Kauman (APIK) dan menempuh pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) hingga Madrasah Aliyah (MA) di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen.
Zuli mengatakan, dirinya sempat mengalami kesulitan pada masa awal mondok di Kajen.
“Waktu SD saya bintang kelas, tapi di Mathole’ (sebutan populer untuk Mathali’ul Falah-red.), saya mulai dari nol. Saya merasa bakat saya tidak tersalurkan,” kata dia.
Untuk menyalurkan minatnya, Zuli kemudian bergabung dengan ekstra kurikuler majalah dinding (mading).
Mulai kelas 1 MTs hingga Aliyah, ia aktif di Mading Embrio. Di sana ia mengisi redaksi seni budaya, antara lain kolom komik. Di situlah ia merasa menemukan wahana untuk mencurahkan minatnya.
Ia merasa sangat bahagia ketika karya-karyanya mendapat perhatian dari para kiai.
“Sepekan sekali setiap saya mengganti tema mading, paginya selalu dilihat oleh para kiai di Mathole’. Itu membuat saya makin percaya diri,” tutur Zuli.
Namun, suatu momen saat ia duduk di kelas 2 MA sempat membuat ia berdebar-debar. Ketika itu ia dipanggil oleh Kiai Anas, pengajar di Mathole’. Zuli menduga dirinya akan dimarahi atau dihukum karena suka menggambar, bahkan juga menggambari buku-bukunya.
“Ternyata saya malah diwejangi, ‘kamu punya bakat, punya potensi. Lanjutkan, gunakan yang baik, in syaa Allah manfaat dan barokah’,” ujar Zuli semringah.
Bahkan, oleh Kiai Anas, Zuli bersama seorang kawannya bernama Imaduddin justru diberi kesempatan untuk menggambar bahan ajar praktik wudu dan praktik salat untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI). Imaduddin membuat kaligrafi, sedangkan Zuli menggambar ilustrasinya.
“Setelah itu saya tambah yakin bahwa ini jalan hidup saya. Saya merasa harus benar-benar kompeten di bidang ini,” ujar Zuli.
Begitu lulus MA, setelah belajar bahasa Inggris di Pare selama satu tahun, pada 2012 Zuli mantap melanjutkan pendidikan di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
“Untuk masuk sana saya harus bersaing dengan 680 orang, yang dipilih hanya 40 anak kelas reguler. Adapun teman-teman saya banyak mendaftar di UIN, saya sendiri yang daftar di ISI,” kata dia.
Zuli bersyukur telah memiliki pondasi ilmu agama yang ia dapatkan ketika mondok. Bekal ilmu agama itulah yang ia gunakan sebagai landasan dalam berkarya.
Menurutnya, di tangan santri, desain grafis bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan khazanah kebudayaan Islam dan ajaran Islam damai.
Dengan keyakinan tersebut, pada 2017 Zuli membuat Buku Infografis Masjid Kajen untuk tugas akhirnya. Buku infografis tersebut mengeksplorasi ornamen-ornamen Masjid Kajen yang menunjukkan ajaran dan laku tasawuf dari Syekh Ahmad Mutamakkin, waliyullah yang berdakwah dan dimakamkan di Desa Kajen.
Berkat buku tersebut, Zuli kerap dipercaya untuk memandu para turis maupun peneliti, baik lokal maupun mancanegara, yang hendak mendalami ajaran dan artefak Syekh Mutamakkin. Ia juga pernah memandu mahasiswa dari Chicago, Amerika Serikat.
Pada 2016, Zuli juga pernah menjuarai lomba desain ilustrasi Haul Ke-7 Gus Dur yang diadakan oleh Santri Design Community. Satu di antara juri lomba tersebut ialah Alissa Wahid.
Dalam lomba tersebut Zuli menggambar karikatur Gus Dur memakai baju zirah dan memegang panah. Ujung mata panahnya berbentuk simbol hati. Desain ini juga merupakan bagian dari promosi Islam damai.
“Maknanya, Gus Dur merupakan kesatria pemberani yang berjuang dengan senjata cinta,” terang dia.
Pada 2018, Zuli memenangi sayembara desain logo pariwisata yang diadakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro (Pinarak Bojonegoro). Konsep logo yang ia buat diambilnya dari kitab tasawuf Kifayatul Atqiya' yang ia pelajari ketika mondok.
Kini, untuk meneruskan visinya di dunia desain grafis pada generasi yang lebih muda, Zuli mengajar di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA). Selain itu, ia juga mengajar DKV di SMK Cordova dan ekstra kurikuler komik islami di beberapa pondok pesantren.
Selain itu, untuk berkhidmat pada Syekh Mutamakkin dan tanah tempatnya menimba ilmu, Zuli mendirikan Komunitas Jelajah Pusaka Kajen (Kajen Heritage Trail). Di sini, ia dan rekan-rekannya aktif melakukan kerja-kerja pelestarian khazanah kebudayaan peninggalan Syekh Mutamakkin. (Mazka Hauzan Naufal)