Sudah Hilangkah Indra ‘Perasaan’?
olehDeni Setiawan -Tribun Jateng
EMPAT bulan lagi, genap setahun Covid-19 menyebar di Indonesia. Hingga kini belum jelas kapan akan berakhir. Justru, kasus tersebut makin melonjak beberapa pekan terakhir.
Ada asumsi, lonjakan itu pasca musim libur panjang akhir Oktober 2020. Banyak yang abai protokol kesehatan.
Dari perkembangannya, gejala mereka tak lagi sekadar sesak napas, batuk, atau demam. Penderita notabene berkondisi sehat secara fisik.
Dijumpai kini mereka yang kehilangan fungsi indra penciuman dan perasa dalam kurun waktu lebih dari sehari atau istilah lainnya anosmia.
Suatu pertanyaan besar, mengapa wabah ini berlarut-larut dan apa penyebab utamanya?
Bilapun virus itu dianggap mematikan, toh tak sedikit di antara mereka yang sembuh dan kembali beraktivitas normal.
Sampai-sampai Bupati Banyumas, Achmad Husein seolah ‘habis akal’. Mengimbau masyarakat untuk tetap memakai masker meski berada di dalam rumah, tak lagi ketika saat beraktivitas di luar.
Para pejabat publik yang dipandang patuh protokol kesehatan, senantiasa menjaga imunitas tubuh pun tak sedikit yang dinyatakan positif terinfeksi virus itu.
Di sisi lain, wajar bila Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo ikut merespon pernyataan Mendagri Tito Karnavian akan mencopot kepala daerah yang tidak tegas menegakkan aturan protokol kesehatan.
Menurut Ganjar, Mendagri tidak perlu mengancam. Sebab itu sudah menjadi tanggung jawab dan mereka punya kesadaran itu. Namun sudahkah menjalankannya secara optimal?
Seperti diketahui, Tito Karnavian belum lama ini menerbitkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Adapun acuannya adalah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dimana di dalamnya mengatur tentang pemberhentian kepala daerah yang melanggar ketentuan.
Ganjar pun menceritakan pengalaman pribadinya yang sulit memperingatkan rekan sendiri, di satu partai, termasuk yang sedang maju dalam Pilkada Serentak 2020.
“Memang tidak mudah berkomunikasi dengan rekan-rekan yang satu partai atau dukungan,” ucap Ganjar.
Padahal, dalam aturan Pilkada misalnya, juga sudah sangat jelas terkait protokol kesehatan. Namun tetap saja ada paslon yang melanggar atau mengabaikannya.
Lagi-lagi, ini bukan sekadar menerbitkan aturan, lalu memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Ini lebih menyoal sejauhmana indra perasaan yang dimiliki tiap kelompok maupun individu.
Toh, seolah karena telah kebal sanksi, aturan pun bisa dilanggar, apalagi sampai berupaya ‘cuci tangan’ agar terhindar dari hukuman, maupun sekadar berucap minta maaf. Yang semestinya menjadi cermin masyarakat.
Tak salah jika masyarakat mengartikan aturan hanya tajam ke bawah, tumpul untuk yang di atas. Karenanya, kini disadari atau tidak, masyarakat di tingkat bawah pun ikut serta abai aturan, termasuk soal protokol kesehatan.
Ketika kepekaan rasa berangsur memudar, yakinlah, pandemi ini tak akan berhenti. Aturan sekeras apapun, tetap ada yang melanggarnya.
Dan sebentar lagi, tak lebih dari sebulan, bakal ada pemungutan suara. Jangan sampai kembali pula pesta demokrasi itu rusak karena hilang indra perasaannya.
Berandai-andai saja, bisakah jika ada lonjakan kasus karena kerumuman massa, si calon pemenang dibatalkan kemenangannya dalam Pilkada Serentak 2020? (*)