TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo dinilai tidak sejalan dengan kebijakannya.
Pada Kamis (4/3/2021) lalu ia meminta masyarakat untuk benci produk luar negeri dan membeli produk lokal.
Namun sehari berikutnya, pemerintah mengumumkan impor beras 1 juta ton.
Baca juga: Berharap Efek Domino, Jokowi Heran Ajakan Benci Produk Asing Jadi Ramai
Baca juga: Presiden Jokowi Ajak Wajib Pajak Segera Lapor SPT Tahunan, Sebelum 31 Maret 2021
Baca juga: Mewahnya Desain Masjid Hadiah Pangeran Arab untuk Jokowi di Solo, Lokasi Sudah Ditinjau Gibran
Pernyataan benci produk luar negeri diutarakan Jokowi dalam pidatonya saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2021 pada Kamis (4/3/2021) lalu.
"Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan, produk-produk dalam negeri. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri," kata Jokowi dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Sabtu (6/3/2021).
Jokowi menyebut, kampanye cinta produk Indonesia dan benci produk luar negeri perlu digaungkan supaya masyarakat loyal terhadap hasil karya anak negeri.
"Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia," kata Jokowi.
Namun ajakan membenci produk asing seolah kontradiksi dengan kebijakan pemerintah terbaru yang kembali membuka impor beras sebanyak 1 juta ton.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, rencana impor ini telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas, Kementerian Perdagangan bahkan telah mengantongi jadwal impor beras tersebut.
Menurut dia, impor beras akan digunakan untuk menambah cadangan atau pemerintah menyebutnya dengan istilah iron stock.
"Iron stock itu barang yang memang ditaruh untuk Bulog sebagai cadangan, dia mesti memastikan barang itu selalu ada. Jadi tidak bisa dipengaruhi oleh panen atau apapun karena memang dipakai sebagai iron stock," jelas Lutfi.
Klaim pemerintah, impor sebesar 1 juta ton, yang terbagi 500.000 ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500.000 ton sesuai kebutuhan Bulog.
Stok beras perlu dijaga karena pemerintah perlu melakukan pengadaan beras besar-besaran untuk pasokan beras bansos selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Selain itu, adanya banjir yang menerjang beberapa daerah mengancam ketersediaan pasokan beras. Namun begitu, pemerintah juga akan tetap melakukan pengadaan beras beras-besaran dari petani lokal.
Upaya menjaga ketersediaan stok beras tersebut dilakukan melalui penyerapan gabah oleh Bulog dengan target setara beras 900.000 ton pada saat panen raya Maret hingga Mei 2021 dan 500.000 ton pada Juni hingga September 2021.
Sebelum pemerintah mengumumkan impor beras, pada Januari lalu ditemukan beredarnya beras impor asal Vietnam di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC).
Masuknya beras ini terjadi kala stok beras nasional dilaporkan dalam kondisi aman tanpa gejolak harga yang berarti.
Beras impor yang disebut berasal dari Vietnam ini dijual dengan harga Rp 9.000 per kilogram (kg), lebih rendah dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium.
Lutfi juga mengungkapkan cerita dibalik pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta menggaungkan cinta produk dalam negeri dan benci produk asing atau produk dari luar negeri.
Menurut Lutfi, alasan mengapa Jokowi mengkampanyekan benci produk luar negeri karena dipicu cerita yang ia bagikan sesaat sebelum acara di mulai, yakni mengenai fenomena UMKM Indonesia yang terdampak produk impor melalui perdagangan digital.
“Jadi ingin meluruskan bahwa ini adalah laporan saya ketika memohon beliau untuk membuka Rapat Kerja Kemendag dua hari lalu, dan tadi sempat menjadi pembicaraan sebelum masuk ke acara tersebut,” ujar dia.
Dia mengatakan, laporan yang disampaikannya kepada kepala negara adalah mengenai praktik predatory pricing melalui platform e-commerce global.
Adapun predatory pricing adalah strategi penjualan dengan mematok harga yang sangat rendah sehingga menarik pembeli, tujuannya untuk menyingkirkan pesaing dari pasar dan mencegah pelaku usaha lain masuk ke pasar yang sama.
"Jadi harga yang sengaja dibuat untuk membunuh kompetisi. Ini membuat tidak terjadi keadilan atau kesetaraan dalam perdagangan," kata dia.
Praktik predatory pricing tersebut, lanjut Lutfi, diperkuat dengan sebuah tulisan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional.
Tulisan itu mengungkapkan hancurnya UMKM asal Indonesia yang bergerak di bisnis fesyen muslim yaitu penjual kerudung atau hijab akibat praktik predatory pricing yang dilakukan pihak asing.
Ia menjelaskan, bisnis UMKM penjual hijab tersebut sempat berjaya selama 2016-2018 hingga mampu mempekerjakan 3.400 karyawan. Total gaji yang dibayarkan UMKM pada pekerjanya itu bahkan mencapai 650.000 dollar AS per tahun.
Namun pada 2018 ada sebuah perusahaan asing yang menyadap seluruh informasi UMKM tersebut. Kemudian perusahaan yang mencuri data itu membuat produk serupa di China yang kemudian dipasarkan pula ke Indonesia.
"Jadi ketika kita buka platform e-commerce global tersebut, benar saja, ternyata hijab yang dijual perusahaan itu harganya hanya Rp 1.900 per satu pcs," ungkap Lutfi.
Kondisi tersebut tentunya mematikan UMKM lantaran harga yang dipatok hijab asal China itu jauh lebih rendah dari hijab produksi dalam negeri. Padahal, kata Lutfi, nilai bea masuk yang dibayarkan perusahaan tersebut dari impor hijab yang dilakukan hanya sebesar 44.000 dollar AS.
"Mereka membayar bea masuk 44.000 dollar AS tapi menghancurkan industri UMKM tersebut, yang membayar biaya gajinya 650.000 dollar AS untuk 3.400 orang," ucap dia.
Baca juga: Terkuak Alasan Jokowi Cabut Perpres Investasi Miras, Ini Sosok di Baliknya
Baca juga: Kecam Perpres Investasi Miras, Amien Rais: Pak Jokowi Menghancurkan Akhlak Anak Muda
Baca juga: Novel Bamukmin Tuding Jokowi Bubarkan FPI Didesak Industri Miras, Ancam Gelar Aksi
Lutfi bilang, praktik curang tersebutlah yang dibenci oleh Jokowi sehingga memicu pernyataan benci produk luar negeri. Sebab imbasnya sangat besar kepada pelaku UMKM lokal.
"Inilah yang menyebabkan kebencian produk asing yang diutarakan Presiden karena kejadian perdagangan yang tidak adil, tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat," ujar dia.
Meski demikian, dia menegaskan, bukan berarti Indonesia melakukan proteksionisme. Upaya mendorong kecintaan produk dalam negeri utamanya untuk melindungi UMKM dan membasmi praktik predatory pricing yang mematikan usaha rakyat. (*)
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul Kontradiksi Jokowi: Serukan Benci Produk Asing, Lalu Buka Impor Beras