Pelecehan Seksual

Perempuan Tunanetra Semarang Disuruh Pegang Alat Vital: Lapor Polisi Tak Ada yang Percaya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Penulis : Iwan Arifianto 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Aninda seorang disabilitas tuna netra low vision menjadi korban kekerasan seksual. 

Pelaku tak lain adalah orang terdekat yang seharusnya menjaga dirinya yaitu ayah tirinya sendiri. 

Dia mengingat pengalaman pahit yang dialaminya begitu membekas.

Hingga merubah hidupnya untuk membela para  disabilitas yang menjadi korban serupa dirinya. 

Dia mulai bercerita ketika itu masih kuliah duduk di semester 6 di sebuah kampus swasta ternama di Kota Semarang. 

Ibunya yang seorang janda hendak menikah dengan seorang pria kenalannya. 

Berhubung hendak menikah pria itu sudah cukup dekat dengan keluarganya. 

Bahkan untuk pulang pergi ke kampus dia diantarkan oleh calon suami ibunya itu. 

Pada suatu ketika, dia diajak mampir ke rumah kontrakannya dengan alasan pelaku hendak meracik minuman sirup dagangannya. 

Kejadian itu pada malam hari sekira pukul 19.00 WIB. 

"Mau ngak mau saya terpaksa mengikutinya lantaran sebagai tuna netra low vision kapasitas saya ketika itu harus di antar jemput," paparnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (17/3/2021).

Dia melanjutkan, pelaku sempat menyuruhnya untuk makan. 

Sewaktu makan itu dia kaget bukan kepalang lantaran pelaku tiba-tiba saja mengeluarkan alat kelaminnya persis di hadapannya. 

Dia pun kaget bukan main. 

Dia sontak lari ke depan rumah. 

Dia syok dan bingung atas peristiwa yang baru saja dialaminya. 

Pasalnya pelaku adalah calon ayah tirinya yang sebentar lagi menikah dengan ibunya. 

"Saya kalut dan menelepon tukang ojek langganan saya untuk menjemput," terangnya. 

Sikap pelaku, kata dia, sempat ketakutan dan membujuknya untuk kembali masuk ke rumah. 

Namun dia menolak dan tetap kukuh untuk pulang serta tak mau masuk ke rumah kontrakan. 

"Setelah sampai di rumah entah kenapa ibu saya marah-marah kepada saya. 

Tentu hal itu membuat saya semakin takut dan enggan bercerita soal kejadian itu," paparnya. 

Dia mengungkapkan, mulai berani bercerita saat menjelang pernikahan ibunya dan pelaku. 

Menurutnya hal itu perlu dilakukan lantaran menyangkut masa depannya andai hidup satu rumah dengan pelaku. 

"Saat saya bercerita ibu malah mengabaikan jadi saya bingung mau cerita kemana. 

Tak ada teman untuk bercerita," terangnya. 

Hingga kini, akunya, masih menyimpan sakit hati. 

Dia jengkel lantaran tak ada orang yang mau mendengar ceritanya. 

"Ya masih dendam saja  di hati masih jengkel. 

Tak ada yang percaya terkait pelecehan itu, apakah karena saya seorang disabilitas?," tanyanya. 

Dia menuturkan, adapula cerita dari teman-teman disabilitas lainnya dampingan dari Sammi Insititute yang fokus membela kaum disabilitas dan kesetaraan gender. 

Cerita itu datang dari curahan hati para  difabel khususnya tuna netra. 

Ada seorang disabilitas yang mengalami pelecehan seksual saat bekerja sebagai tukang pijat. 

Mereka disuruh untuk memijat alat vital pria konsumennya. 

"Korban masih magang jadi ga tahu apa yang dipegang namun setelah sadar korban kabur dari tempat itu," terangnya. 

Mirisnya, ada teman disabiltas tuna netra yang terhimpit kebutuhan ekonomi terpaksa meladeni ajakan pelanggan pijatnya dengan iming-iming uang. 

Lantaran butuh uang, takut dan terkena bujuk rayu korban akhirnya mau diajak berhubungan badan. 

"Korban saat itu terhimpit kebutuhan ekonomi," terangnya. 

Dia berpesan kepada Pemerintah, para disablitas butuh perhatian lantaran sebagai kelompok rentan  pelecehan seksual.

Terutama kaum tuna netra dan tuna grahita. 

Sebab dua disabilitas tersebut memiliki kelemahan penglihatan dan mental yang menjadi sulit diungkap kasusnya saat jadi korban pelecehan. 

"Di lingkungan terdekat saja sedikit yang mau percaya pada kami karena kedisabilitasan yang kami miliki. 

Jadi banyak dari kami hanya bisa diam dan diam," tegasnya. 

Dia ingin para korban melapor ke pihak berwajib agar pelaku kapok dan para disabilitas tak dipandang sebelah mata. 

Sayangnya, para disabilitas tak mendapat dukungan dari pihak terdekat yakni keluarga karena dianggap kasus itu sebagai aib. 

Dia meminta ada keadilan bagi para disabilitas. 

Sebenarnya banyak dari disabilitas jadi korban namun mereka enggan melaporkan karena minimnya dukungan orang terdekat. 

"Kami juga butuh keadilan karena banyak dari kami yang jadi korban," terangnya. 

Sementara itu, Divisi Bantuan Hukum LRC-KJHAM, Nia Lishayati mengatakan, para disabilitas juga menjadi fokusnya ketika mendapatkan kekerasan seksual. 

Pihaknya mencatat, tahun lalu menangani dua kasus pelecehan seksual yang menyasar disabilitas. 

Pertama di Kabupaten Pati , korban  saat dilecehkan berumur 18 tahun. 

Kasusnya  perbudakan seksual, pelaku  adalah ayah tirinya.

Ketika mau mengadukan ke polisi korban tidak mendapat dukungan dari keluarga karena pelaku ayah tirinya.

Kasus kedua di Kota Semarang, kasusnya  hampir sama seperti di Pati korban jadi  perbudakan seksual oleh orang terdekat. 

Hanya saja korban sudah kategori dewasa. 

"Kami meminta hentikan diskriminasi kepada  para disabilitas.

Korban  juga jangan takut untuk melaporkan karena kami siap mendampingi," ujarnya.

(*)

Berita Terkini