TRIBUNJATENG.COM, LUBUKPAKAM -- Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Petrus Hariyanto mengecam tindakan Rumah Sakit Umum GrandMed Lubuk Pakam, yang memberikan pelayanan bagi pasien covid-19.
Perlakuan itu mulai dari dokter tidak melakukan visitasi sehingga adanya dugaan intimidasi yang dilakukan dokter kepada pasien.
Hal ini bermula pada 30 Juli 2021 dimana Biner Samosir dan Tiarasi Silalahi--yang tidak lain orang tua kandung dari Ketua Umum KPCDI Tony Samosir--terkonfirmasi terpapar virus Sars-CoV-2.
Karena adanya rekam medis comorbid seperti penyakit jantung, dan sudah masuk lansia, keduanya harus menjalani perawatan di RSU GrandMed.
Adapun gejala awal yang dirasa oleh kedua pasien adalah demam, batuk, mual dan muntah, lemas, badan sakit, dan pusing.
Kedua pasien ini pun ditangani langsung oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) dr Edwin Pakpahan, Sp.P. Berdasarkan pengakuan pasien, Dokter Edwin belum melakukan visitasi sepanjang pasien dirawat di ruangan isolasi.
Karena tidak mendapatkan perawatan optimal, tiga hari setelah dirawat Tiarasi mengeluhkan adanya sesak napas, mual, muntah saat minum obat, tidak bisa makan, dan mengalami gangguan psikosomatis. Kala itu perawat hanya memberikan bantuan oksigen dan tidak ada dokter yang memeriksa kondisinya.
Mengetahui kondisi orang tuanya kian melemah, Tony lantas menghubungi Direktur Rumah Sakit dr. Arif Sujatmiko untuk meminta penanganan medis dari DPJP. Mengetahui adanya keluhan tersebut--berdasarkan pengakuan pasien--dr. Edwin langsung mendatangi kedua pasien dan menyampaikan respon yang kurang berkenan.
Kala itu, menurut Petrus dr. Edwin menunjukan gestur ketidaksukaannya kepada pasien dan berujar bahwa keduanya akan segera dirujuk karena dia mengaku tidak bisa menangani pasien dengan gejala sesak napas.
Beberapa jam kemudian Tiarasi menghembuskan nafas terakhir. Dengan kejadian tersebut, Petrus mempertanyakan langkah dokter dalam melakukan rujukan apalagi ingin dirujuk ke kelas rumah sakit dibawahnya.
Padahal pada saat itu, pihak rumah sakit sedang tidak kekurangan kamar rawat dan secara logika alasan dokter tidak bisa menangani pasien dengan gejala sesak adalah mengada-ada.
"Rumah sakit ini nggak mau menangani. Tentu saja apa yang dilakukan rumah sakit tidak memahami bahwa kondisi pasien tertekan karena ucapan dokter tersebut," kata Petrus, Sabtu (21/8).
Sementara itu, dalam menyelesaikan kasus ini, Tony telah memberikan kuasa kepada Kantor Hukum dan HAM, Lokataru untuk meminta pertanggungjawaban pihak rumah sakit.
Petrus dan KPCDI mendukung langkah ini mengingat kasus serupa bisa menjadi pengalaman bagi para pasien yang tidak mendapatkan pelayanan yang baik dari rumah sakit.
Poinnya bukan soal gugatan, tetapi bagaimana para pasien yang merasa dirugikan bisa bersuara dan menuntut keadilan. Karena bukan tidak mungkin banyak pasien covid-19 yang mengalami perlakuan serupa pada saat dirawat.