Navrouzov menilai pengadilan Al-Jumailly, yang bergabung dengan ISIS pada 2013, 'mengirimkan pesan yang jelas.
“Tidak masalah di mana kejahatan dilakukan dan tidak peduli di mana pelakunya, berkat hukum yurisdiksi universal, mereka tidak bisa bersembunyi dan akan tetap diadili,” ujarnya.
Putusan itu dijatuhkan setelah mantan istri Taha mendapat hukuman 10 tahun penjara oleh pengadilan Munich bulan lalu, dalam persidangan terpisah atas kejahatan perang.
Sebab dia membiarkan gadis Yazidi berusia lima tahun, yang dijadikan budak, meninggal karena kehausan di bawah sinar matahari.
Jennifer Wenisch (30 tahun), dari Lohne di Lower Saxony, dinyatakan bersalah atas 'dua kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk perbudakan', serta membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan gadis itu dan menjadi anggota organisasi teroris.
"Setelah gadis itu jatuh sakit dan membasahi kasurnya, suami dari terdakwa merantainya di luar sebagai hukuman dan membiarkan anak itu mati kehausan dalam panas yang menyengat," kata jaksa selama persidangan.
"Terdakwa membiarkan suaminya melakukannya dan tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan gadis itu."
Diidentifikasi hanya dengan nama depannya Nora, ibu gadis Yazidi telah berulang kali bersaksi di Munich dan Frankfurt, tentang siksaan yang diduga menimpa anaknya.
Persidangan Wenisch, yang dimulai pada April 2019, adalah salah satu contoh pertama dari proses pengadilan atas perlakuan brutal kelompok ISIS terhadap Yazidi.
Jerman telah mendakwa beberapa warga negara Jerman dan asing dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di luar negeri.
Pengadilan ini menggunakan prinsip hukum yurisdiksi universal, yang memungkinkan kejahatan diadili bahkan jika itu dilakukan di negara asing. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Pria Anggota ISIS Pingsan di Pengadilan Usai Divonis Penjara Seumur Hidup